Friday, May 11, 2007

Negeri Subur & Nasi Aking

umber : Budi Susanto
NPM : 05-040
Jurusan : Management (smt 04)
Keterangan : Tugas Ekonomi Pembangunan



Dulu ketika rakyat didera kelaparan, yang diakibatkan oleh kemiskinan yang mederanya, orang masih bisa mengkonsumsi umbi-umbian seperti singkong, ubi, talas, atau apaun yang sejenisnya. Bahkan di tahun 60- an, ketika terjadi pemotongan nilai rupiah sampai dengan seribu persen, kemiskinan berhasil memaksa rakyat mengantri di jalan-jalan untuk mendapatkan beras dari pemerintah. Tapi saat ini yang terjadi sepertinya sudah berada di puncak tertingginya, virus yang bernama kemiskinan ini seperti sudah sangat akut mendera rakyat Indonesia. Di kota-kota besar, tidak terkecuali juga di desa-desa, puluhan ribu orang terpaksa harus mengkonsumsi
nasi aking. Nasi bekas yang seharusnya menjadi makanan binatang ini, sekarang di konsumsi oleh manusia. Seperti mimpi memang, tapi itulah kenyataannya, berbagai media cetak maupun elektronik menjadi saksi hidup dari kodisi buruk ini.
Dulu kita mungkin tidak pernah tahu apa yang dinamakan nasi aking itu, tapi sekarang nasi aking seolah sudah menjadi makanan wajib bagi kebanyakan rakyat miskin di indonesia. Konon harga per kilonya hanya seperlima dari harga sekilo beras, atau jika nominalkan sebesar seribu rupiah untuk satu kilo. Tentu saja sangat murah,
karena nasi aking adalah nasi bekas yang kemudian dikeringkan, dan di tanak kembali untuk kemudian dimakan. Rasanya tentu tidak sepulen nasi yang diolah dari beras, bahkan medekati pun tidak. Tapi apa mau dikata, jika memang uang untuk membeli beras itu tidak ada.
Lalu bagaimana dengan nilai gizi yang terkandung di dalam nasi aking? Menurut beberapa orang pakar kesehatan, nasi aking bahkan tidak mempunyai secuilpun kandungan gizi di dalamnya. Hal itu disebabkan karena nasi aking adalah daur ulang makanan sisa, jadi semua gizi yang menopang kesehatan tubuh sudah melenyap ketika nasi
itu dibasikan.
Jika sudah seperti ini, masih pantaskah kita menyebut diri sebagai bangsa yang subur, yang kekayaan alamnya melimpah ruah. Yang konon katanya, kekayaan alam Indonesia adalah yang kedua terkaya di dunia.
Rasanya sudah kering air mata ini untuk menangis, tapi kemiskinan dari bangsa ini pertama kali berdiri, tidak juga beranjak pergi. Kemana pemerintah? Ketika nelayan-nelayan dari negara asing mengambil ikan dari perairan kita. Kemana pemerintah? Ketika Tenaga Kerja Indonesia yang mencari penghidupan di luar negeri dan
penyumbang devisa terbesar bagi bangsa dipukuli oleh majikannya. Kemana pemerintah? Ketika kekayaan alam kita kita dikeruk oleh perusahaan-perusahaan asing untuk dibawa ke negara mereka. Kemana pemerintah? Yang menurut UUD 45 adalah pelayan dari kepentingan masyarakat. Lalu buat apa ada pemerintahan, jika sebagian besar
rakyat hidup dalam kemiskinan.
Kota Karawang saja yang dulu dijuluki sebagai kota lumbung padi, rasanya saat ini justru tidak tepat lagi, mengapa ? dari hasil Surfey yang dilakukan baru-baru ini oleh mahasiswa Universitas Singa Perbangsa Karawang (UNSIKA) dalam rangka pencatatan rumah tangga miskin menunjukan bahwa masyarakat yang notabennya tinggal di daerah
pedesaanpun yang mayoritas penduduknya bermata pencahariaan sebagai petani tak luput dalam kesahariannya mengkonsumsi beras miskin bahkan tak jarang pula masyarakat mengkonsumsi nasi Aking.
Bagi mereka nasi Raskin atau nasi Aking yang dijadikan sebagai bahan makanan mereka sehari-hari pun,mereka anggap sebagai nasi penyelamat dalam kehidupan mereka untuk sedikit mengusir rasa lapar yang mencekik perut mereka, lalu apa yang harus pemerintah kita lakukan saat ini ? haruskah kita hanya menjadi penonton dari fenomena
yang terjadi masyarakat kita saat ini ? atau masih tepatkah Indonesia ini di sebut nergri yang kaya akan sumber kekayaan alam, kalau saja masyarakatnya tidak mampu untuk mengkonsumsi nasi yang baik dari hasil negrinya sendiri.

Kritik dan saran : budi-brojomusti@yahoo.co.id

No comments: