Friday, May 11, 2007

Demokrasi Membutuhkan Ekonomi

Nama : Pepi Rusyana
Npm : 05 - 021
smt : IV / Empat
fe unsika manajemen




Demokrasi Membutuhkan Ekonomi


PENDAPAT yang umum berlaku adalah bahwa negara miskin tidak akan berhasil mengembangkan demokrasi (India dapat dikatakan sebagai kekecualian). Tentu saja beberapa negara miskin berupaya untuk mengembangkan demokrasi, namun suatu negara yang mengembangkan demokrasi pada saat tingkat pembangunannya rendah hampir dapat
dipastikan akan mengalami kegagalan.
Demokrasi untuk berkembang membutuhkan dukungan ekonomi. Bagi negara berkembang, seperti Indonesia, melakukan konsolidasi demokrasi yang sebenarnya (genuine democracy) merupakan tantangan terpenting dan sekaligus tersulit. Penjelasan sederhana dari keberhasilan konsolidasi di banyak negara adalah dicirikan oleh dukungan dari keberhasilan dalam pembangunan ekonomi. Bagi Indonesia yang sedang
dalam tahapan konsolidasi demokrasi maka perkembangan ekonomi yang lebih baik dan lebih cepat akan mengarahkan kepada keberhasilan berjalannya demokrasi. Namun, sebaliknya, stagnasi ekonomi memastikan akan gagalnya demokrasi.

Negara yang pendapatan per kapitanya di bawah 1.500 dollar AS, eksperimen demokrasinya hanya bertahan selama delapan tahun untuk kemudian mengalami kegagalan. Pendapatan per kapita di sini dihitung menurut PPP (Purchasing Power Parity) yang disesuaikan dengan tingkat biaya hidup di negara yang bersangkutan. Pendapatan per
kapita PPP ini lebih tinggi daripada pendapatan per kapita secara riil yang tidak memperhitungkan perbedaan tingkat harga dan daya beli di masing-masing negara. Untuk negara dengan pendapatan per kapita antara 1.500-3.000 dollar AS, eksperimen demokrasi bertahan rata-rata sekitar 18 tahun. Pendapatan per kapita di atas 6.000
dollar AS membuat proses demokrasi dapat bertahan. Sekali suatu negara menjadi negara kaya, maka demokrasi menjadi berkesinambungan.

Pendapatan per kapita Indonesia secara riil sekarang ini adalah sekitar 800 dollar AS dan menurut PPP sekitar 3.000 dollar AS. Di lihat dari sisi perkembangan ekonomi, Indonesia mempunyai peluang yang cukup baik, sekalipun masih cukup besar kemungkinan gagalnya, untuk terus dapat mengembangkan demokrasi. Proses perkembangan demokrasi di Indonesia telah berlangsung selama sekitar lima tahun. Jika perkembangan ekonomi lambat dengan pengangguran yang relatif tinggi dan cenderung meningkat seperti yang kita alami sekarang ini, maka demokrasi di Indonesia kemungkinan hanya akan dapat bertahan sekitar dua sampai dengan tiga pemilihan umum lagi. Jika perkembangan ekonomi dapat lebih baik, sehingga pendapatan per kapita dapat menjadi dua kali lipatnya dalam satu dekade ke depan, maka kemungkinan demokrasi di Indonesia akan dapat berkembang secara berkesinambungan.

Dalam lima tahun pertama masa demokrasi di Indonesia, perekonomian Indonesia baru dalam tahap stabilitas belum dapat tumbuh tinggi, bahkan tingkat pendapatan per kapita belum kembali ke tingkat masa sebelum krisis. Proses pemulihan ekonomi yang lambat dan pengangguran yang meningkat membuat sebagian pemilih kecewa sebagaimana ditunjukkan oleh penurunan perolehan suara PDI-P dalam pemilihan umum legislatif April yang lalu, dan Presiden Megawati hanya menduduki urutan kedua dalam pemilihan presiden putaran pertama, serta adanya keinginan bagi munculnya pemimpin baru sebagaimana ditunjukkan oleh cukup tingginya popularitas Susilo
Bambang Yudhoyono.

Namun, jika pemerintahan baru nantinya tidak dapat memperbaiki perekonomian secara berarti dalam masa lima tahun ke depan, maka kekecewaan masyarakat bukan saja terhadap pemerintah, tetapi juga terhadap demokrasi akan meningkat dan akan mengancam keberlanjutan demokrasi. Stagnasi ekonomi dalam lima tahun ke depan bukan saja
akan mengarahkan pemilih untuk mendapatkan pemimpin baru tetapi juga semakin menurunkan kepercayaan mereka terhadap proses demokrasi.

Untuk membuat pendapatan per kapita dua kali lipat dalam satu dekade ke depan tentu saja tidak mudah. Namun, jika presiden terpilih dapat membentuk kabinet (ekonomi) yang andal, yang dapat menstimulasi dan menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi, maka perkembangan ekonomi akan dapat berjalan jauh lebih cepat. Perkembangan ekonomi sekarang ini di beberapa sektor, seperti bangunan, transportasi-
telekomunikasi, perdagangan, keuangan, dan bahkan industri manufaktur sudah memperlihatkan peningkatan yang menggembirakan, sekalipun belum optimal, terutama untuk sektor manufaktur.

Sayang sekali pertumbuhan sektor pertambangan yang semestinya diuntungkan oleh tingginya harga minyak dan komoditas pertambangan justru mengalami pertumbuhan negatif. Begitu pula perkembangan sektor pertanian masih mengecewakan. Dari sisi pengeluaran, dalam kegiatan investasi dan ekspor masih harus dilakukan upaya ekstra
untuk meningkatkan kinerjanya. Untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif tidak saja membutuhkan langkah-langkah di bidang ekonomi, tetapi juga hukum dan kerja sama yang lebih baik dan probisnis antara pemerintah pusat dan daerah.

Kebijaksanaan moneter sudah berada di tangan Bank Indonesia yang independen, sehingga tidak terlalu mendapatkan tekanan politis baik dari eksekutif maupun legislatif untuk kepentingan tertentu yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi. Tinggal pilihan kebijaksanaan pemerintahan baru apakah akan mengarahkan kebijaksanaan fiskal yang
lebih stimulatif, tentu saja dengan tetap memperhatikan kehati-hatian fiskal (fiscal prudentiality), atau tetap konservatif seperti sekarang ini. Mempertahankan kebijaksanaan fiskal yang konservatif berarti membutuhkan kompensasi dalam langkah-langkah berani dan tegas untuk mengatasi permasalahan struktural yang menghambat investasi, seperti hukum, ketenagakerjaan, dan kerja pemerintah
daerah. Jika tidak, maka kebijaksanaan moneter dan fiskal yang netral seperti sekarang ini hanya akan menghasilkan pertumbuhan rendah dan pengangguran yang tinggi.

Di tangan pemerintahan baru tidak saja pemulihan dan perkembangan ekonomi dipertaruhkan, tetapi juga keberlanjutan demokrasi.

No comments: