Friday, May 4, 2007

Membangun Tenaga Produktif Nasional

nama : dika kharisma
npm : 05-057
smt : IV (empat) MB
fe unsika manajemen



Membangun Tenaga Produktif Nasional

Pada tahun 2005, United Nation Industrial Development Organisation(UNIDO) menempatkan Indonesia dalam peringkat industrialisasi terbawah diantara negara-negara ASEAN. Menurut mereka, lemahnya sektor ini disebabkan oleh daya saing yang lemah dan minimnya upaya (dana) untuk riset dan pengembangan. Prinsip yang harus dipegang
adalah arah dari kebijakan ekonomi yang harus ditempuh adalah yang sanggup memberi jalan keluar terhadap keterbelakangan tenaga produktif nasional; bersifat massal untuk mengatasi ledakan pengangguran akibat kebijakanglobalisasi; mampu memberi jalan keluar penyelamatan industri dalam negeri yang saat ini sekarat dan mengalami kebangkrutan masaal; serta yang pengelolaan, tujuan, dan hasil-hasilnya dibadikan untuk kepentingan mayoritas rakyat.
Singkatnya arah dari perspektif ekonomi masa depan adalah meletakan dasar-dasar dan syarat-sarat ekonomi dan sosial bagi program industrialisasi nasional yang berhasil agar tercipta landasan ekonomi nasional yang modern dan kokoh dan sanggup membuka lapangan kerja secara massal. Sementara program pendidikan (dari TK hingga perguruan tinggi) dan kesehatan gratis (dari biaya rawat inap, konsultasi medis, dan obat-obatannya) dibutuhkan untuk mencetak sumber daya kapital, sumber daya manusia yang terus meningkat kemampuan dan kualitasnya.
Industrialisasi tidak hanya dimaksudkan agar kontribusi sektor industri dalam pendapatan nasional makin meningkat, tetapi harus dilaksanakan dengan tujuan-tujuan yang lebih luas cakupannya,khususnya agar tingkat kesejahteraan masyarakatnya makin membaik dan makin merata. Oleh karena itu, persoalan-persoalan sosial dalam
kehidupan masyarakat yang nampak lambat perkembangan penanggulangannya pelu dijadikan pertimbangan penting di dalam memilih strategi pelaksanaan industrialisasi. BPS menyebutkan bahwa pada bulan Februari 2006 tingkat pengangguran terbuka mencapai 10,4%dari jumlah angkatan kerja atau sekitar 11 juta orang. Mungkin kita akan sedikit berlega hati, dari sepuluh orang Indonesia, sembilan orang memiliki pekerjaan. Tentu tidaklah semudah itu penalarannya.
Nyatanya BPS juga memiliki data bahwa dari seratusan juta angkatan kerja kita, 60,6 juta orang bekerja pada sektor informal . Besarnya sektor informal merupakan konsekuensi logis lemahnya perindustrian di tanah air. Mungkin gambarannya sekarang akan menjadi: dari sepuluh orang Indonesia (angkatan kerja), satu orang menganggur,
enam orang bekerja tanpa kepastian, sisanya bekerja normal. Pun perlu digaris bawahi, orang yang `bekerja normal' sebagian besar saat ini sangat rentan kondisinya di bawah penerapan UU No.13/2003 ataupun revisinya (jika yang terakhir ini akhirnya disahkan).
Lemahnya tenaga produktif dapat digambarkan dari banyaknya pengangguran dan pekerja sektor informal di suatu negara. Padahal menurut hukum ekonomi, produksi adalah basis kehidupan dan perkembangan masyarakat. Dan faktor yang paling menentukan dalam
semua aktivitas produksi adalah manusia itu sendiri, tenaga kerjanya. Lemahnya akses masyarakat kepada pemenuhan syarat-syarat produktivitas mereka akbat kemiskinan, akan menciptakan kemiskinan-kemiskinan yang baru pula. Fenomena itu bagai sebuah lingkaran
setan. Satu-satunya jalan untuk memutus rantai lingkaran itu adalah:
negara harus melakukan intervensi untuk membuka seluas-luasnya akses mayarakat dalam pemenuhan syarat-syarat tenaga produktif mereka.Akses rakyat terhadap makanan, pakaian, perumahan, pendidikan,kesehatan, dan rekreasi haruslah dibuka seluas-luasnya. Kesemuanya haruslah mendapat perlindungan (subsidi) dari pemerintah. Pada tahapan awal haruslah ada yang digratiskan seperti pendidikan dan kesehatan sebagai pemacu awal.
"sektor pekerjaan yang tidak menghasilkan pendapatan yang tetap dan tiadanya keamanan kerja (job security) atau tidak ada status permanen atas pekerjaan".

Syarat Dasar Kemajuan Negara Berkembang

nama : dika kharisma
npm : 05-057
smt : IV (empat) MB
fe unsika manajemen



Syarat Dasar Kemajuan Negara Berkembang

Program pendidikan dan kesehatan harus dijadikan sebagai basis human capital yang tangguh, oleh karena itu pendidikan dan kesehatan darus bersifal masal dan gratis. Tidak seperti yang terjadi saat ini, hanya berupa kosmetik belaka yang tetap saja tidak mengubah komersialisasi dari kedua akses rakyat tersebut, pendidikan sampai
dengan perguruan tinggi harus gratis, dan program kesehatan gratis harus juga mencakup biaya rawat inap, jasa medis dan obat-obatan. Peran BUMN dalam pengelolaan indutri farmasi yang berwatak komesialisasi harus segera diganti dengan industri farmasi yang tidak berorientasi profit.
Seluruh pengelolaan sumber daya alam harus nasionalisasi untuk kepentingan rakyat, caranya banyak yang bisa kita tempuh. Soekarno pernah mengambil alih perusahaan asing tanpa ganti rugi,atau seperti di Bolivia dimana rakyatnya menuntut pembagian hasil yang lebih besar dari keuntungan asing. Pengelolaan sumber daya alam
harus menjadi penyumbang yang mendukung program penguatan terhadap industri nasional, dengan demikian seluruh asset-aset ekonomi dalam negeri yang sudah di Privatisasi dan di Divestasi yang terbukti merugikan rakyat harus dibatalkan. (Misalnya penjualan Bank oleh BPPN yang didalamnya disertakan subsidi obligasi rekapitalisasi perbankan yang nilainya sebesar 700 trilyun dan dengan bunga yang hampir mencapai 1000 trilyun). Semua itu harus menjadi agenda dari elemen-elemen rakyat untuk menuntut pembatalannya.
Kebijakan dalam penyusunan APBN haruslah mengabdi pada pada kepentingan dalam negri, pembayaran hutung luar negri yang selama puluhan tahun merugikan rakyat harus diputihkan, atau minimal seperi yang dilakukan oleh pemerintahan Argentina yang melakukan moratorium (penjadwalan ulang) sepihak tanpa batas waktu. Pemerintahan
Argentina juga selanjutnya melakukan pemotongan hutang sepihat hingga sebesar 70% dari total nilai hutangnya.
Gelombang PHK massal yang disebabkan oleh kebangkrutan industri dalam negeri yang pengelolaannya bertumpu pada modal asing sudah terbukti gagal, pemerintah harus segera membangun industri-industri strategis yang dapat dijadikan sebagai basis dari penguatan industri nasional. Seperti mengatasi keterbelakangan tenaga produktif di pedesaan, industri mesin-mesin pertanian (traktor,mesin giling, mesin perontok, mesin pengering) juga sara produksi pertanian (pupuk), atau industri baja, mother machine, kimia, farmasi, otomotif, perkapalan, telekomunikasi,optik, dan industri untuk barang-barang konsumsi rakyat yang sangat penting dan mendesak harus menjadi prioritas yang dikerjakan secara bertahap dan mandiri. Sedangkan untuk industri dalam negeri yang terancam bangkrut kita bisa meniru apa yang dilakukan oleh Chavez di Venezuela dengan konsep co-management nya, dimana industri yang bangkrut diambil alih
oleh negara, dibantu permodalannya dan pengelolaannya diserahkan kepada buruhnya. Cara seperti ini juga pernah dipakai oleh negeri paling mju sekalipun, pemerintahan Rosevelt / USA ketika mengalami depresi besar tahun 1930-an melakukan pembelian terhadap hasil-hasil industri dalam negri yang kemudian oleh pemerintah dijual atau di kreditkan kapada negara lain.
Program penguatan terhadap indutri nasional yang madern dan massal, pengelolaan sumbar daya alam yang bertantung jawab, keberpihakan APBN kepada rakyat dan industri dalam negeri tersebut membutuhkan sebuah pemerintahan yang tidak saja berani, tapi juga harus memiliki komitmen yang kuat dan bersih juga berwatak kerakyatan

Menolak Revisi UUK

nama : dika kharisma
npm : 05-057
smt : IV (empat) MB
fe unsika manajemen



Menolak Revisi UUK

Sepanjang bulan maret 2006 hingga mei 2006, kaum pekerja di Indonesia disibukan degan penolakan rencana terhadap revisi UUK. Alasan penolakan saya dapat dari beberapa berita yang saya dapat dari Koran, adalah karena rencana revisi tersebut dikhawatirkan akan memangkas hak dan perlindungan terhadap kaum pekerja.
Dimulai dari persoalan penetapan upah, pesangon, kerja kontrak, sampai masalah outsourching. Sebenarnya posisi kaum pekerja sejak awal sudah menolak rencana terhadap revisi UUK ketika hendak di sahkan beberapa bulan lalu.
Dari balik sekat kenyataan hidup yang dialami oleh kaum pekerja, seperti yang sudah disebutkan diatas, kaum pekerja hendaknya mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Dan saya rasa sangat penting untuk mengetahui kepentingan siapa yang diuntungkan dengan direvinya UUK tersebut?
Negara-negara berkembang yang juga diserang oleh krrisis perekonomian pada akhir tahun sembilan puluhan, pada umumnya banyak yang bergantung kepada donor internasional semacam IMF, CGI, WORD BANK. Dengan ketergantungan yang sedemikian ruopa, maka negra-negara yang menggantungan dirinya pada lembga keuangan internasional, akan sangat patuhkepada lembaga-lembaga internasional tersebut. Begitu
juga dengan yang terjafi di Indonesia, krisis yang membelit sejak akhir tahun 90-an tidak juga kunjung diselesaikan oleh pemerintah. Hal ini nampak kontras sekali dengan beberapa Negara berkembang lainnya, yang menolak cmpur tangan IMF dalam mengatasi krisis yang membebani Negara lainnya seperti Malaysia dan Vietnam.
Rencana revisi yang marak ditolak oleh para pekerja di tanah air, dalm rencananya adalah untuk menekan pengeluaran terhadap tenaga kerja (labor cost), yang berarti menyediakan tenaga kerja murah dan berada dalam kendali intervensi asing. Jadi, penolakan yang dilakukan oleh kaum pekerja, selain untuk membela hak-hak kaum
pekerja, juga untuk menuntut perlindungan Negara terhadap rakyatnya.
Persoalan lainnya yang mendesak untuk dipecahkan, adalah bagaimana kaum pekerja mencari taktik yang tepat untuk memperjuangkan hak-hak kaum pekerja itu sendiri.
Saya secara pribadi melihat, akar permasalahan tersebut terletak dari diterapkannya system perekonomian pasar bebas yang digunakn di Indonesia. Sehingga indinsie tidak menjadi sebuah bangsa yang berdikari di bidang ekonomi.

Wednesday, May 2, 2007

MENANGGULANGI KEMISKINAN DESA

Yosua Mario Hadi
Tugas Ekonomi Pembangunan

Ada desa-desa dimana posisi penduduk pedesaan ibarat orang yang selamanya berdiri terendam dalam air sampai ke leher, sehingga ombak yang kecil sekalipun sudah cukup menenggelamkan mereka (Tawney, 1931) Kemiskinan terus menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai nation state, sejarah sebuah negara yang salah
memandang dan mengurus kemiskinan. Dalam negara yang salah urus, tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas. Kemiskinan, menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan
apa saja demi keselamatan hidup, safety life (James. C.Scott, 1981), mempertaruhkan tenaga fisik untuk memproduksi keuntungan bagi tengkulak lokal dan menerima upah yang tidak sepadan dengan biaya tenaga yang dikeluarkan. Para buruh tani desa bekerja sepanjang hari, tetapi mereka menerima upah yang sangat sedikit.
Kemiskinan telah membatasi hak rakyat untuk (1) memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan; (2) Hak rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum; (3) Hak rakyat untuk memperoleh rasa aman; (4) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau; (5) Hak rakyat untuk memperoleh
akses atas kebutuhan pendidikan; (6) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan; (7) Hak rakyat untuk memperoleh keadilan; (8) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan pemerintahan; (9) Hak rakyat untuk berinovasi; (10) Hak rakyat menjalankan hubungan spiritualnya dengan Tuhan; dan
(11) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam menata dan mengelola pemerintahan dengan baik.
Kemiskinan menjadi alasan yang sempurna rendahnya Human Development Index (HDI), Indeks Pembangunan Manusia Indonesia. Secara menyeluruh kualitas manusia Indonesia relatif masih sangat rendah, dibandingkan dengan kualitas manusia di negara-negara lain di dunia. Berdasarkan Human Development Report 2004 yang menggunakan data tahun 2002, angka Human Development Index (HDI) Indonesia adalah 0,692. Angka indeks tersebut merupakan komposit dari angka harapan hidup saat lahir sebesar 66,6 tahun, angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas sebesar 87,9 persen, kombinasi angka partisipasi kasar jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi sebesar 65 persen, dan Pendapatan Domestik Bruto per kapita yang dihitung berdasarkan paritas daya beli (purchasing power parity) sebesar US$ 3.230. HDI Indonesia hanya menempati urutan ke-111 dari 177 negara (Kompas, 2004).
Pendek kata, kemiskinan merupakan persoalan yang maha kompleks dan kronis. Karena sangat kompleks dan kronis, maka cara penanggulangan kemiskinan pun membutuhkan analisis yang tepat, melibatkan semua komponen permasalahan, dan diperlukan strategi penanganan yang tepat, berkelanjutan dan tidak bersifat temporer. Sejumlah variabel
dapat dipakai untuk melacak persoalan kemiskinan, dan dari variabel ini dihasilkan serangkaian strategi dan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang tepat sasaran dan berkesinambungan. Dari dimensi pendidikan misalnya, pendidikan yang rendah dipandang sebagai penyebab kemiskinan. Dari dimensi kesehatan, rendahnya mutu kesehatan masyarakat menyebabkan terjadinya kemiskinan. Dari dimensi ekonomi, kepemilikan alat-alat produktif yang terbatas, penguasaan teknologi dan kurangnya keterampilan, dilihat sebagai alasan mendasar mengapa terjadi kemiskinan. Faktor kultur dan truktural juga kerap kali dilihat sebagai elemen penting yang menentukan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Tidak ada yang salah dan keliru dengan pendekatan tersebut, tetapi dibutuhkan keterpaduan antara berbagai faktor penyebab kemiskinan yang sangat banyak dengan indikator-indikator yang jelas, sehingga kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak bersifat temporer, tetapi permanen
dan berkelanjutan.
Selama tiga dekade, upaya penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan penyediaan kebutuhan dasar seperti pangan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, perluasan kesempatan kerja, pembangunan pertanian, pemberian dana bergulir melalui sistem kredit, pembangunan prasarana dan pendampingan, penyuluhan sanitasi dan sebagainya. Dari serangkaian cara dan strategi penanggulangan kemiskinan tersebut, semuanya berorentasi material, sehingga keberlanjutannya sangat tergantung pada ketersediaan anggaran dan komitmen pemerintah. Di samping itu, tidak adanya tatanan pemerintahan yang demokratis menyebabkan rendahnya akseptabilitas dan inisiatif masyarakat untuk
menanggulangi kemiskinan dengan cara mereka sendiri.

KONSEP DAN INDIKATOR KEMISKINAN
Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar ketakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Misalnya, ada pendapat yang mengatakan bahwa kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup,
dan lingkungan dalam suatu masyarakat atau yang mengatakan bahwa kemiskinan merupakan ketakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi (kemiskinan struktural). Tetapi pada umumnya, ketika orang berbicara tentang kemiskinan, yang dimaksud adalah kemiskinan material. Dengan pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Ini yang sering disebut dengan kemiskinan konsumsi. Memang definisi ini sangat bermanfaat untuk mempermudah
membuat indikator orang miskin, tetapi defenisi ini sangat kurang memadai karena; (1) tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan; (2) dapat menjerumuskan ke kesimpulan yang salah bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai; (3) tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika harus
merumuskan kebijakan lintas sektor, bahkan bisa kontraproduktif. BAPPENAS (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-
politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin ini, BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective.
Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air
bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat.
Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan
keputusan. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri (Joseph F. Stepanek, (ed), 1985).
Dari pendekatan-pendekatan tersebut, indikator utama kemiskinan dapat dilihat dari; (1) kurangnya pangan, sandang dan perumahan yang tidak layak; (2) terbatasnya kepemilikan tanah dan alat-alat produktif; (3) kuranya kemampuan membaca dan menulis; (4) kurangnya jaminan dan kesejahteraan hidup; (5) kerentanan dan keterpurukan
dalam bidang sosial dan ekonomi; (6) ketakberdayaan atau daya tawar yang rendah; (7) akses terhadap ilmu pengetahuan yang terbatas; (8) dan sebagainya.
Indikator-indikator tersbut dipertegas dengan rumusan yang konkrit yang dibuat oleh BAPPENAS berikut ini; ¨ terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, dilihat dari stok
pangan yang terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita dan ibu. Sekitar 20 persen penduduk dengan tingkat pendapatan terendah hanya mengkonsumsi 1.571 kkal per hari. Kekurangan asupan kalori, yaitu kurang dari 2.100 kkal per hari, masih dialami oleh 60 persen penduduk berpenghasilan
terendah (BPS, 2004); ¨ terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan
disebabkan oleh kesulitan mandapatkan layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi; jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal. Di sisi lain, utilisasi rumah sakit masih
didominasi oleh golongan mampu, sedang masyarakat miskin cenderung memanfaatkan pelayanan di PUSKESMAS. Demikian juga persalinan oleh tenaga kesehatan pada penduduk miskin, hanya sebesar 39,1 persen dibanding 82,3 persen pada penduduk kaya. Asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk sistem jaminan sosial hanya menjangkau 18,74 persen
(2001) penduduk, dan hanya sebagian kecil di antaranya penduduk miskin;
¨ terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan yang disebabkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung; ¨ terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga; ¨ terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi. Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering kesulitan memperoleh perumahan dan lingkungan
permukiman yang sehat dan layak. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai; ¨ terbatasnya akses terhadap air bersih. Kesulitan untuk mendapatkan air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air; ¨ lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah. Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat
dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota keluargannya untuk bekerja di atas tanah pertanian; ¨ memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah perdesaan, kawasan pesisir, daerah pertambangan dan daerah pinggiran hutan sangat tergantung pada sumberdaya alam sebagai sumber penghasilan; ¨ lemahnya jaminan rasa aman. Data yang dihimpun UNSFIR
menggambarkan bahwa dalam waktu 3 tahun (1997-2000) telah terjadi 3.600 konflik dengan korban 10.700 orang, dan lebih dari 1 juta jiwa menjadi pengungsi. Meskipun jumlah pengungsi cenderung menurun, tetapi pada tahun 2001 diperkirakan masih ada lebih dari 850.000 pengungsi di berbagai daerah konflik;
¨ lemahnya partisipasi. Berbagai kasus penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja secara sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah garapan menunjukkan kurangnya dialog dan lemahnya pertisipasi mereka dalam pengambilan keputusan. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan keterlibatan mereka;
¨ besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi. Menurut data BPS, rumahtangga miskin mempunyai rata-rata anggota keluarga lebih besar daripada rumahtangga tidak
miskin. Rumahtangga miskin di perkotaan rata rata mempunyai anggota 5,1 orang, sedangkan rata-rata anggota rumahtangga miskin di perdesaan adalah 4,8 orang.
Dari berbagai definisi tersebut di atas, maka indikator utama kemiiskinan adalah; (1) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan; (2) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan; (3) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan; (4)
terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha; (5) lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah; (6) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi; (7) terbatasnya akses terhadap air bersih; (8) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah; (9) memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta
terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam; (10) lemahnya jaminan rasa aman; (11) lemahnya partisipasi; (12) besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga; (13) tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, meluasnya korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat. Kenyataan menunjukkan bahwa kemiskinan tidak bisa didefinisikan dengan sangat sederhana, karena tidak hanya berhubungan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan material, tetapi juga sangat berkaitan dengan dimensi kehidupan manusia yang lain. Karenanya, kemiskinan hanya dapat ditanggulangi apabila dimensi-dimensi lain itu diperhitungkan. Menurut Bank Dunia (2003), penyebab dasar kemiskinan adalah: (1) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal; (2) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan
prasarana; (3) kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor; (4) adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung; (5) adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern); (6) rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (7) budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkunganya; (8) tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance); (9) pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan.
Indikator utama kemiskinan menurut Bank Dunia adalah kepemilikan tanah dan modal yang terbatas, terbatasnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan, pembangunan yang bias kota, perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat, perbedaan sumber daya manusia dan sektor ekonomi, rendahnya produktivitas, budaya hidup yang jelek, tata
pemerintahan yang buruk, dan pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan.

Tanggapan

Dari kegagalan penanggulangan masalah kemiskinan selama ini, strategi dan kebijakan alternatif yang berpihak pada masyarakat miskin menjadi kebutuhan mutlak dalam menanggulangi kemiskinan. Berikut beberapa strategi serta kebijakan dalam menganggulangi masalah kemiskinan desa dapat dilakukan dengan:

1. Memberikan sarana pendidikan bagi masyarakat desa secara gratis dan cuma-cuma. Sekarang ini pendidikan yang di tawarkan merupakan pendidikan mahal yang tidak sanggup untuk di penuhi oleh masyarakat miskin. Karenanya, mereka memilih untuk tidak
menyekolahkan anak-anak mereka karena biaya yang tidak sesuai dengan kemampuan mereka, yang mengakibatkan generasi berikutnya tetap saja tidak dapat keluar dari kemiskinan. Masyarakat desa selalu mengatakan "jangankan untuk menyekolahnkan anak-anak kami, untuk kebutuhan hidup sehari-hari saja sudah tidak dapat terpenuhi."

2. Redistribusi lahan dan modal pertanian yang seimbang. Kini kenyataannya para petani yang mengelola lahan pertanian hanya bekerja pada pamilik lahan. Mereka tidsak memiliki tanah pertanian sendiri, hanya sebagai orang yang mengurus lahan pertanian para tengkulak atau pemilik tanah. Akhirnya kenyataan yang ada, tanah-tanah yang ada tidak memberikan penghasilan yang cukup bagi para petani.

3. Mendorong perkembangan investasi pertanian dan pertambangan ke daerahan pedesaan. Pembukaan pertanian dan pertambangan dapat memberikan kesempatan kerja kepada masyarakat desa.

4. Membuka kesempatan yang luas kepada masyarakat desa untuk memperoleh kredit usaha yang mudah.

5. Memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan masyarakat desa
6. Memperkenalkan sistem pertanian modern dengan teknologi baru yang memudahkan masyarakat desa untuk menggali sumber-sumber pendapatan yang memadai.

7. Memberikan sistem kesehatan yang gratis bagi masyarakat desa dengan memperbanyak PUSKESMAS guna meningkatkan kesehatan masyarakat desa.

8. Memberikan jaminan sosial pada masyarakat desa. Sehingga meningkatkan semangat hidup yang lebih berarti.

Itu merupakan beberapa cara guna mengentaskan kemiskinan di desa.


"Satu langkah kecil mengawali sebuah langkah besar."

SIAPA LEBIH MERUSAK LINGKUNGAN: ORANG MISKIN ATAU ORANG KAYA?

Yosua Mario Hadi
Tugas Ekonomi Pembangunan

The greatest threat to the equilibrium of the environment comes from the way the economy is organized... ever increasing growth and accumulation (Ravaioli, 1995: 4)
1. Jika hutan kita menjadi gundul atau terbakar, sehingga lingkungan hidup kita rusak, siapa biang keladinya? Penduduk miskin di hutan-hutan dan sekitar hutan menebang hutan negara untuk memperoleh penghasilan untuk makan. Tetapi kayu-kayu yang
diperolehnya ditampung calo-calo untuk dijual, dan kemudian dijual lagi untuk ekspor, yang semuanya "demi keuntungan". Siapa yang paling bersalah dalam proses perusakan lingkungan ini? Yang jelas tidak adil adalah kalau yang disalahkan hanya orang-orang miskin saja, sedangkan orang-orang kaya adalah "pahlawan pembangunan".
2. Apabila dikatakan penduduk miskin terbiasa ... "membuang kotoran manusia secara sembarangan yang akan berakibat pada terjangkitnya diare ..." atau "penduduk miskin hanya menekankan pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar untuk bertahan hidup, dan mereka cenderung mengabaikan pemeliharaan lingkungan sekitar", kiranya pernyataan ini juga tidak adil. Pemenuhan kebutuhan pokok penduduk miskin bukan masalah "hanya", tetapi "mutlak" harus dipenuhi untuk hidup. Penduduk miskin tidak memperhatikan lingkungan hidup sekitarnya bukanlah karena mereka tidak peduli, tetapi karena mereka
melakukannya dengan terpaksa.
3. Agar adil kita harus mengakui bahwa kerusakan lingkungan khususnya hutan, disebabkan para pemodal yang haus keuntungan, "memesan" kayu dalam jumlah besar sebagai bahan baku industri yang memang permintaannya sangat besar pula. Akumulasi
keuntungan dan kekayaan yang tidak mengenal batas harus dianggap sebagai penyebab utama kerusakan/pengrusakan hutan, bukan karena orang-orang miskin banyak yang merusak hutan. Maka untuk menjamin terjadinya pembangunan yang berkelanjutan kita harus menghentikan keserakahan orang-orang kaya. Adalah sangat keliru ilmu ekonomi
justru memuja "keserakahan".
4. Perkembangan pedagang kaki lima (PKL) yang tumbuh menjamur dimana-mana, yang dianggap merusak lingkungan karena mengotori jalan dan mengganggu ketertiban, juga tidak mungkin ditimpakan kesalahannya pada PKL karena pekerjaan itulah satu-satunya "mata pencaharian" yang dapat dilakukan dalam kondisi kepepet. Ia menggunakan modal sendiri dengan resiko usaha ditanggung sendiri, tidak ada subsidi apapun dar pemerintah, dan memang ada pembeli terhadap barang/jasa yang ditawarkannya. Jadi dalam hal ini lingkungan yang rusak harus diselamatkan melalui upaya-upaya "pencegahan" munculnya PKL, bukan dengan "menggusurnya" setelah berkembang. PKL bukan "masalah" tetapi "pemecahan" masalah kemiskinan.
5. Kesimpulan kita, pendekatan terhadap masalah "pengurangan kemiskinan dan pengelolaan lingkungan" atau sebaliknya terhadap "pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan dan strategi penanggulangan kemiskinan" selama ini kiranya salah dan tidak adil, karena melihat kemiskinan sebagai fakta tanpa mempelajari sumber-sumber dan sebab-sebab kemiskinan itu. Akan lebih baik dan lebih adil jika para peneliti memberi perhatian lebih besar pada sistem ekonomi yang bersifat "serakah" dalam eksploitasi SDA, yaitu sistem ekonomi kapitalis liberal yang berkembang di Barat, dan merajalela sejak jaman penjajahan sampai era globalisasi masa kini. Sistem ekonomi yang tepat bagi Indonesia adalah sistem ekonomi pasar yang populis dan mengacu pada ideologi Pancasila dengan lima cirinya sebagai berikut:
(1) Roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral;
(2) Ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial yaitu tidak membiarkan terjadinya dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial;
(3) Semangat nasionalisme ekonomi; dalam era globalisasi makin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri;
(4) Demokrasi Ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan; koperasi dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat;
(5) Keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil, antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan bertanggung jawab, menuju pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Tanggapan

Dari kenyataan hidup di negara indonesia, kita hanya bisa menyalahkan masyarakat miskin akibat dampak yang di timbulkan dari perbuatan mereka. Kita tidak melihat akan sebab-sebab mereka menjadi miskin, yang menyebabkan mereka menjadi miskin adalah lingkungan, ketidakperdulian pemerintah serta masyarakat sekitar akan keberadaan
mereka. Kenyataan bahwa sampah-sampah yang menumpuk di Indonesia yang berdampak pada terjadinya banjir pada musim hujan kemarin, menjadi pukulan telak negara Indonesia akibat kegagalan pemerintah mengatur ibu kota. Di samping Jakarta sebagai sentral dari negara ini namun Jakarta juga menjadi sentral kemiskinan. Masyarakat miskin
di jadikan alasan terjadinya penumpukan sampah yang terjadi, namun pada kenyataannya masyarakat kayalah yang paling banyak membuang sampah rumah tangga.

Contoh lain yang terjadi adalah hutan kita yang gundul, penyebabnya adalah masyarakat sekitar hutan yang menebang hutan secara liar. Apakah pernyataan itu adil? Kenyataannya mereka hanya bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, maka mereka bekerja pada perusahaan perhutanan yang serakah. Masyarakat miskin hanya dijadikan tameng
dari kebusukan para pengusaha penebangan hutan liar. Yang perlu di tangkap adalah para pengusaha yang menjadi pemimpin, bukan para pekerja yang hanya bekerja guna memenuhi kebutuhan hidup. Ini juga merupakan salah satu penyebeb terjadinya banjir di negara Indonesia.

Permasalahan di kota yang sering timbul adalah permasalahan banyaknya PKL di pusat kota yang mengakibatkan potret hidup di kota besar menjadi tidak sesuai. Kita harus melihat apa penyebeb mereka menjadi PKL? Itu merupakan tindakan spontan guna memenuhi kebutuhan hidup di kota besar yang sangat keras. Dengan banyaknya PKL yang ada
di kota besar, kita dapat melihat bahwa pemerintah tidak memperhatikan masyarakatnya yang kurang mampu. Sungguh menyedihkan kalau ibu kota masih di hiasi dengan banyaknya masyarakat yang miskin. Pemerintah perlu menyediakan lapangan kerja, langkah awalnya
dapat dilakukan dengan menarik lebih banyak investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Langkahnya dapat berupa menurunkan tingkat pajak, suku bunga kredit, serta biaya-biaya lain yang dapat memberatkan usaha para pengusaha. Saya percaya bila banyak investor yang membuka lapangan pekerjaan, maka tingkat kemiskinan dapat di
turunkan serta masalah PKL dapat berkurang.

"Tingkatkan pemahaman kalian guna memahami dan dapat menemukan pemecahan suatu permasalahan."

Think Fast..
Or Be Last...

Reshufle

Tugas Artikel Ekonomi Pembangunan

Reshuffle Jangan Sekedar Pergantian
Para aksi demonstran dalam berunjuk rasa untuk menyalurkan aspirasinya kepada anggota dewan sudah tidak asing lagi dan kita kerap sekali mendengar dan melihat langsung baik melalui media massa maupun media elektronik yang menyiarkan peristiwa-peristiwa aksi demo yang dilakukan masyarakat terhadap pemerintahnya sebagai tanda kurang puas terhadap hasil kinerja pemerintahan yang dipimpinnya.Dan hal tersebut merupakan suatu hal yang wajar bagi negara-negara yang menganut paham demokrasi.Bahkan negara Adi kuasa Amerika sekalipun kerap sekali mendapat tanggapan keras dari masyarakatnya tatkala kebijakan pemerintahnya tidak sesuai dengan hati nurani atau berbenturan dengan Hak Asasi Manusia.Dan ironisnya HAM tersebut didirikan oleh PBB yang berkedudukan di kota New York Amerika Serikat pada tanggal 10 Desember 1948 yang melahirkan Piagam Magna Charta. Dan hal ini pun tidak jauh berbeda dengan negara Indonesia yang menganut paham demokrasi yang berazaskan Panca Sila yang sesuai
dengan sila ke 4 yang berbunyi "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan".Dalam hal ini terbukti dengan banyaknya partai politik yang tumbuh di negara yang sedang berkembang ini, terutama dalam menghadapi PEMILU. Dimana masyarakat dapat menyalurkan aspirasinya melalui anggota dewan
tersebut.
Dan begitu pula dalam wacana perombakan kabinet Indonesia bersatu yang dipimpin oleh DR.H.Susilo Bambang Yudhoyono yang kerap sekali dipanggil dengan sebutan SBY. Banyak partai yang pro-kontra terhadap kebijakannya apalagi bila menteri dari partai tersebut yang akan diganti. Dan perombakan kabinet merupakan hak prerogatif Presiden
yang tidak bisa diganggu gugat, yang sebelumnya telah dilakukan evaluasi-evaluasi dan koreksi terhadap para menteri yang nota bene sebagai pembantu presiden terhadap kinerjanya mulai dari masa kontrak kerja dan pengambilan sumpah sampai menjadi menteri dalam kurun waktu 2,5 tahun lamanya.
Dengan wacana adanya perombakan kabinet oleh presiden merupakan sikap ketidak puasan presiden tehadap kinerja para menterinya yang kurang memuaskan terutama dalam bidang Ekonomi,Keuangan dan Industri serta begitu pula dalam bidang Transportasi yang akhir-akhir ini telah banyak para penumpang yang meninggal akibat kerusakan alat
transportasi terutama transportasi laut dan udara yang menyebabkan berkurangnya rasa percaya dari masyarakat dan berdampak langsung terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara(APBN)dalam bidang transportasi.Dan perombakan tersebut suatu hal yang wajar dan para pimpinan partai pun harus senantiasa menerima dengan senang hati/legowo (bhs Jawa).Namun pergantian menteri dalam kabinet Indonesia Bersatu janganlah dilakukan ibarat tambal sulam bak perusahaan yang merekrut karyawan hanya dengan menilai dari segi administrasi saja akan tetapi melihat juga dari latar belakang calon menteri tersebut baik dari segi kepribadian maupun tanggung jawab
serta memiliki loyalitas yang tinggi terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mempunyai etos kerja yang tinggi dengan mengesampingkan kepentingan pribadi maupun partainya,hal ini pernah di ungkapkan oleh Sekjen MUI,DR. Din Syamsudin bahwa "Calon menteri harus bersungguh-sungguh dalam bekerja dan mempunyai sifat jihad guna mengangkat Bangsa Indonesia dari keterpurukan ekonomi dan kemiskinan"(sumber:Radar Karawang 19 April 2007).Dan akhirnya pemerintahan SBY-JK bisa membawa bangsa Indonesia ke arah yang lebih maju terutama dalam bidang ekonomi yang sesuai dengan isi amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 kalimat terakhir yang berbunyi"Serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".Dengan mengoptimalkan segala potensi yang dimiliki bangsa Indonesia baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam guna mendukung terciptanya kesejahteraan masyarakat Indonesia yang
berdasar pada ekonomi kerakyatan sesuai dengan pasal 33 UUD 1945.Pembaharuan ke arah perbaikan harus senantiasa didukung oleh semua pihak tanpa harus melihat dari mana itu sebuah kebijakan tetapi lihatlah kebijakan itu.Memang negara kita tidak terlepas dari kesalahan para pemimpin negeri ini,namun Presiden Amerika yang ke 16 berkata"The right or wrong is my country".Dan Proklamator Bung Karno berpidato pada masa jaman revolusi di depan rakyat Indonesia pernah berucap "Bangsa yang besar ialah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah bangsanya"(Soekarnoisme) dan kita harus menerimanya dan senantiasa terus memperbaikinya dengan segala kemampuan yang kita
miliki.



Tugas : Artikel Ekonomi Pembangunan
Nama : Ajat. S
NPM : 05-031

Tuesday, May 1, 2007

Prospek Bisnis UKM dalam Era Perdagangan Bebas dan Otonomi Daerah

Artikel Ekonomi Pembangunan
Yosua Mario Hadi


Usaha kecil menengah telah terbukti mampu hidup dan berkembang di dalam badai krisis selama lebih dari enam tahun, keberadaannya telah dapat memberikan kontribusi terhadap PDB sebesar hampir 60%, penyerapan tenaga kerja sebesar 88,7% dari seluruh angkatan kerja di Indonesia dan kontribusi UKM terhadap ekspor tahun 1997 sebesar 7,5% (BPS tahun 2000). Dalam menghadapi era perdagangan bebas dan otonomisasi daerah maka pengembangan UKM diarahkan pada : (1). Pengembangan lingkungan bisnis yang kondusif bagi UKM; (2). Pengembangan lembaga-lembaga financial yang dapat memberikan akses terhadap sumber modal yang transparan dan lebih murah; (3). Memberikan jasa layanan pengembangan bisnis non finansial kepada UKM yang lebih efektif; dan (4). Pembentukan aliansi strategis antara UKM dan UKM lainnya atau dengan usaha besar di Indonesia atau di luar negeri. Berkembang atau matinya usaha kecil menengah dalam era
perdagangan bebas tergantung dari kemampuan bersaing dan peningkatan efisiensi serta membentuk jaringan bisnis dengan lembaga lainnya. Krisis ekonomi kini sudah berusia lebih dari enam tahun. Namun tanda-tanda pemulihan yang diharapkan agaknya masih berjalan sangat lambat dan terseok-seok, walaupun nilai tukar rupiah semakin menguat dan kondisi sosial-politik nasional sudah semakin membaik. Pemulihan ekonomi yang berjalan lambat ini ditunjukkan antara lain dari masih rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi nasional, tingginya angka pengangguran dan kemiskinan serta "mandegnya" perkembangan kegiatan usaha berskala besar baik PMA maupun PMDN. Secara detail angka-angka perkembangan indikator makro ekonomi yang belum menjanjikan dapat
kita lihat pada laporan yang dikeluarkan, baik oleh Badan Pusat Statistik maupun dalam literatur-literatur ekonomi lainnnya (misalnya, Prema Chandra Athukorola, Bulletin Of Indonesian Economic Studies, Agustus 2002; Badan Pusat Statistik, 2002 dan 2003).
Mesin pemulihan ekonomi selama ini masih sangat tergantung pada besaran tingkat konsumsi semata, dan sedikit didorong oleh kegiatan investasi portofolio dan ekspor.
Ditengah pemulihan ekonomi yang masih lambat ini, perekonomian nasional dihantui pula dengan ambisi nasional untuk melakukan otonomi daerah dan desentralisasi. Selain itu, adanya komitment nasional untuk melaksanakan perdagangan bebas multilateral (WTO),
regional (AFTA), kerjasama informal APEC, dan bahkan ASEAN Economic Community (AEC) tahun 2020 merupakan tambahan pekerjaan rumah yang harus pula disikapi secara serius. Dalam hal otonomi daerah dan desentralisasi, berbagai persoalan masih semrawut. Ini terjadi karena disatu pihak ada pihak-pihak tertentu yang tetap berkeinginan
untuk melakukan otonomi daerah dan desentralisasi sesuai dengan UU no. 22/1999 dan UU no. 25/1999, sedangkan di pihak lain banyak yang menuntut revisi alas kedua undang-undang tersebut. Tarik menarik ini selanjutnya menimbulkan berbagai ketidakpastian, sehingga banyak daerah menetapkan berbagai peraturan baru khususnya yang berkaitan dengan pajak daerah, lisensi dan pungutan lainnya. Diperkirakan
lebih dari 1000 peraturan yang berkaitan dengan pajak dan pungutan lainnya telah dikeluarkan daerah-daerah sejak diundangkannya pelaksanaan desentralisasi (Jakarta Post, 6 Mei 2002). Peraturan-peraturan ini telah menghasilkan beban berat bagi pelaksanaan kegiatan usaha di daerah (Firdausy, 2002; Ilyas Saad, 2002).
Dalam situasi dan kondisi ekonomi yang belum kondusif ini, pengembangan kegiatan usaha kecil dan menengah (selanjutnya disebut UKM) dianggap sebagai satu alternatif penting yang mampu mengurangi beban berat yang dihadapi perekonomian nasional dan daerah. Argumentasi ekonomi dibelakang ini yakni karena UKM merupakan kegiatan usaha dominan yang dimiliki bangsa ini. Selain itu pengembangan kegiatan UKM relatif tidak memerlukan kapital yang besar dan dalam periode krisis selama ini UKM relatif tahan
banting", terutama UKM yang berkaitan dengan kegiatan usaha pertanian. Depresiasi rupiah terhadap dollar Amerika telah menyebabkan UKM dalam sektor pertanian dapat mengeruk keuntungan yang relatif besar. Sebaliknya, UKM yang tergantung pada input
import mengalami keterpurukan dengan adanya gejolak depresiasi rupiah ini.
Tulisan singkat ini bertujuan untuk mediskusikan prospek bisnis UKM dalam era perdagangan bebas dan otonomi daerah. Untuk membahas topik ini, berikut akan diuraikan potensi dan kontribusi UKM terhadap perekonomian nasional sebagai latar belakang analisis. Kemudian, didiskusikan upaya apa yang harus dilakukan dalam pengembangan UKM khususnya di daerah dalam menghadapi perdagangan bebas dan otonomi
daerah.

Potensi dan Kontribusi UKM terhadap Perekonomian

Usaha kecil dan menengah (UKM) memegang peranan penting dalam ekonomi Indonesia, baik ditinjau dari segi jumlah usaha (establishment) maupun dari segi penciptaan lapangan kerja. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh BPS dan Kantor Menteri Negara
untuk Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menegkop & UKM), usaha-usaha kecil termasuk usaha-usaha rumah tangga atau mikro (yaitu usaha dengan jumlah total penjualan (turn over) setahun yang kurang dari Rp. 1 milyar), pada tahun 2000 meliputi 99,9 persen dari total usaha-usaha yang bergerak di Indonesia. Sedangkan usaha-usaha menengah (yaitu usaha-usaha dengan total penjualan tahunan yang
berkisar antara Rp. 1 Milyar dan Rp. 50 Milyar) meliputi hanya 0,14 persen dari jumlah total usaha. Dengan demikian, potensi UKM sebagai keseluruhan meliputi 99,9 persen dari jumlah total usaha yang bergerak di Indonesia.
Besarnya peran UKM ini mengindikasikan bahwa UKM merupakan sektor usaha dominan dalam menyerap tenaga kerja. Berdasarkan survei yang dilakukan BPS (2000), pada tahun 1999 usaha-usaha kecil (termasuk usaha rumah tangga) mempekerjakan 88,7 persen dari seluruh angkatan kerja Indonesia., sedangkan usaha menengah mempekerjakan sebanyak
10,7 persen. Ini berarti bahwa UKM mempekerjakan sebanyak 99,4 persen dari seluruh angkatan kerja Indonesia. Disamping ini nilai tambah bruto total yang dihasilkan usaha-usaha kecil secara keseluruhan meliputi 41,9 per sen dari Produk Domestik Bruto (POB) Indonesia pada tahun 1999, sedangkan usaha-usaha menengah secara keseluruhan menghasilkan 17,5 persen dari POB (Iihat juga Thee Kian Wie, 2001). Dengan demikian, nilai tambah bruto total yang dihasilkan UKM secara keseluruhan hampir sebesar 60 persen dari POB


Tanggapan

Dari data yang di peroleh oleh BPS, jelas sekali usaha kecil dan menengah kian mendominasi sektor usaha di Indonesia. Usaha tersebut juga mampu menyerap tenaga kerja yang banyak sehingga membantu dalam proses menurunkan tingkat pengangguran yang tinggi. Kini yang perlu dilakukan adalah menyediakan lapangan guna memperluas usaha kecil dan menengah dan lingkungan usaha yang kondusif. Serta dukungan dari lembaga-lembaga finansial yang dapat membantu dalam hal permodalan usaha kecil yang sedang berkembang atau yang baru memulai langkah usaha. Pemerintah seharusnya lebih
memperhatikan usaha kecil dan mengengah yang memberikan dampak bagi pertumbuhan ekonomi yang sedang terpuruk. Dengan kemudahan akses dalam kerjasama antar usaha kecil dan menengah serta jaringan terhadap persaingan pasar bebas. Dengan banyaknya hasil-hasil usaha yang di ekspor ke luar negeri, usaha di Indonesia harus di
perhatikan lebih serius. Sebab usaha kecil berpotensi menjadi penggerak pemulihan ekonomi Indonesia.
Kita sebagai generasi penerus harus memahami usaha apa yang berkembang di negara Indonesia, dan usaha apa yang berkembang di masa yang akan datang. Dengan cara apa keadaan ekonomi di Indonesia dapat pulih, kita harus berfikir ke depan, sebab era globalisasi merupakan era persaingan yang keras. Perlunya pemahaman yang luas
dan terbuka terhadap informasi-informasi baru merupakan langkah awal dalam menciptakan daya fikir yang maju. Dengan demikian saya mengharapkan setiap perguruan tinggi di Indonesia dapat mencetak lulusan-lulusan yang dapat membuka lapangan kerja, bukan mencetak para buruh yang nantinya bekerja pada perusahaan-perusahaan asing.
Pengarahan selama ini hanya untuk menciptakan tenaga kerja yang handal, sedangkan pada kenyataannya lapangan pekerjaan di Indonesia kurang. Sehingga lulusan-lulusan dari perguruan tinggi yang siap untuk bekerja, menambah tingkat pengangguran karena kurangnya lapangan kerja yang siap untuk menampung para lulusan perguruan tinggi.
Mengapa tidak di arahkan untuk menciptakan lapangan kerja sendiri? Dengan menciptakan lapangan kerja, merupakan langkah untuk membantu mengurangi tingkat pengangguran bukan menambah daftar tunggu para penganggur. Usaha kecil merupakan langkah awal yang efektif dan dapat bertahan lama, terbukti pada krisis ekonomi tahun 1997, usaha
yang masih hidup walaupun tersendat adalah usaha kecil dan menengah sedangkan banyak usaha besar yang mengalami gulung tikar. Dalam usaha kecil di perlukan daya kreativitas yang tinggi dan inovasi dari pelaku usaha guna terus mempertahankan usahanya dari persaingan bebas. Apabila usaha yang dilakukan ketinggalan jaman, maka para pengusaha-pengusaha lain yang lebih cepat tanggap terhadap perubahanlah yang akan mampu terus bertahan.
Perdagangan merupakan usaha yang tidak pernah mati, namun selalu mengalami perubahan-perubahan yang sangat cepat. Bulan ini produk A yang sedang banyak di konsumsi oleh masyarakat, beberapa bulan depan tidak ada yang dapat menjamin produk tersebut masih di konsumsi oleh masyarakat. Oleh karena itu kita harus memiliki daya fikir yang cepat, mampu menganalisa kemungkinan yang akan terjadi esok, dan
memiliki konteks yang luas agar informasi baru dapat kita tangkap untuk di olah menjadi suatu inovasi. Informasi merupakan media terpenting agar kita tidak ketinggalan dalam era persaingan globalisasi, internet merupakan sebuah jendela dunia yang tak kenal batas.

"Hiduplah pada saat ini. Lakukanlah yang terbaik hari ini sebab hari esok bergantung pada apa yang kamu lakukan sekarang."


"World will continue to rotate and cannot stand still...
So you must walk with the world..."

Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan?

SEJAK awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana termuat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945. Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus-menerus menjadi masalah yang berkepanjangan.
PADA umumnya, partai-partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 juga mencantumkan program pengentasan kemiskinan sebagai program utama dalam platform mereka. Pada masa Orde Baru, walaupun mengalami pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 7,5 persen selama tahun 1970-1996, penduduk miskin di Indonesia tetap tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1996 masih sangat tinggi, yaitu sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan banyak ekonom yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada
akhirnya mengurangi penduduk miskin.
Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan reformasi terlihat lebih besar lagi setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan BPS, persentase penduduk miskin di
Indonesia sampai tahun 2003 masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen, dengan jumlah penduduk yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang. Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2001, persentase keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) pada 2001 mencapai 52,07 persen, atau lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. Angka- angka ini mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.

Penyebab kegagalan
Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin.Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program
jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan.
Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan
mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya. Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung
digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).
Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.
Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk program-program penanggulangan kemiskinan selama ini adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro hasil pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN.
Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik, dengan asumsi yang menekankan pada keseragaman dan fokus pada indikator dampak. Pada kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara
besar yang mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal.
Bisa saja terjadi bahwa angka-angka kemiskinan tersebut tidak realistis untuk kepentingan lokal, dan bahkan bisa membingungkan pemimpin lokal (pemerintah kabupaten/kota). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Sumba Timur. Pemerintah Kabupaten Sumba Timur merasa kesulitan dalam menyalurkan beras untuk orang
miskin karena adanya dua angka kemiskinan yang sangat berbeda antara BPS dan BKKBN pada waktu itu.
Di satu pihak angka kemiskinan Sumba Timur yang dihasilkan BPS pada tahun 1999 adalah 27 persen, sementara angka kemiskinan (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) yang dihasilkan BKKBN pada tahun yang sama mencapai 84 persen. Kedua angka ini cukup menyulitkan pemerintah dalam menyalurkan bantuan-bantuan karena data yang digunakan untuk target sasaran rumah tangga adalah data BKKBN, sementara alokasi bantuan didasarkan pada angka BPS. Secara konseptual, data makro yang dihitung BPS selama ini dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) pada dasarnya (walaupun belum sempurna) dapat digunakan untuk memantau perkembangan serta perbandingan penduduk miskin antardaerah. Namun, data makro tersebut mempunyai keterbatasan karena hanya bersifat indikator dampak yang dapat digunakan untuk target sasaran geografis, tetapi tidak dapat digunakan untuk target sasaran individu rumah tangga atau keluarga miskin. Untuk target sasaran rumah tangga miskin, diperlukan data mikro yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan secara lokal, bukan secara agregat seperti
melalui model-model ekonometrik.
Untuk data mikro, beberapa lembaga pemerintah telah berusaha mengumpulkan data keluarga atau rumah tangga miskin secara lengkap, antara lain data keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN dan data rumah tangga miskin oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Meski demikian, indikator- indikator yang dihasilkan masih terbatas pada identifikasi rumah tangga. Di samping itu, indikator-indikator tersebut selain tidak bisa menjelaskan penyebab kemiskinan, juga masih bersifat sentralistik dan seragam-tidak dikembangkan dari kondisi akar rumput dan belum tentu mewakili
keutuhan sistem sosial yang spesifik-lokal.

Strategi ke depan
Berkaitan dengan penerapan otonomi daerah sejak tahun 2001, data dan informasi kemiskinan yang ada sekarang perlu dicermati lebih lanjut, terutama terhadap manfaatnya untuk perencanaan lokal. Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi saja (pendekatan ekonomi), tetapi memerlukan
diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan secara lokal. Data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian tujuan atau sasaran dari kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, baik di tingkat nasional, tingkat kabupaten/kota, maupun di tingkat komunitas.
Masalah utama yang muncul sehubungan dengan data mikro sekarang ini adalah, selain data tersebut belum tentu relevan untuk kondisi daerah atau komunitas, data tersebut juga hanya dapat digunakan sebagai indikator dampak dan belum mencakup indikator-indikator yang dapat menjelaskan akar penyebab kemiskinan di suatu daerah atau komunitas.
Dalam proses pengambilan keputusan diperlukan adanya indikator-indikator yang realistis yang dapat diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan dan program yang perlu dilaksanakan untuk penanggulangan kemiskinan. Indikator tersebut harus sensitif terhadap fenomena-fenomena kemiskinan atau kesejahteraan individu, keluarga, unit-unit sosial yang lebih besar, dan wilayah.
Kajian secara ilmiah terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan kemiskinan, seperti faktor penyebab proses terjadinya kemiskinan atau pemiskinan dan indikator-indikator dalam pemahaman gejala kemiskinan serta akibat-akibat dari kemiskinan itu sendiri, perlu dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota dengan dibantu para peneliti perlu mengembangkan sendiri sistem pemantauan
kemiskinan di daerahnya, khususnya dalam era otonomi daerah sekarang. Para peneliti tersebut tidak hanya dibatasi pada disiplin ilmu ekonomi, tetapi juga disiplin ilmu sosiologi, ilmu antropologi, dan lainnya.

Belum memadai
Ukuran-ukuran kemiskinan yang dirancang di pusat belum sepenuhnya memadai dalam upaya pengentasan kemiskinan secara operasional di daerah. Sebaliknya, informasi-informasi yang dihasilkan dari pusat tersebut dapat menjadikan kebijakan salah arah karena data tersebut tidak dapat mengidentifikasikan kemiskinan sebenarnya yang terjadi
di tingkat daerah yang lebih kecil. Oleh karena itu, di samping data kemiskinan makro yang diperlukan dalam sistem statistik nasional, perlu juga diperoleh data kemiskinan (mikro) yang spesifik daerah. Namun, sistem statistik yang dikumpulkan secara lokal tersebut perlu diintegrasikan dengan sistem statistik nasional sehingga
keterbandingan antarwilayah, khususnya keterbandingan antarkabupaten dan provinsi dapat tetap terjaga. Dalam membangun suatu sistem pengelolaan informasi yang berguna
untuk kebijakan pembangunan kesejahteraan daerah, perlu adanya komitmen dari pemerintah daerah dalam penyediaan dana secara berkelanjutan. Dengan adanya dana daerah untuk pengelolaan data dan informasi kemiskinan, pemerintah daerah diharapkan dapat mengurangi pemborosan dana dalam pembangunan sebagai akibat dari kebijakan yang
salah arah, dan sebaliknya membantu mempercepat proses pembangunan melalui kebijakan dan program yang lebih tepat dalam pembangunan. Keuntungan yang diperoleh dari ketersediaan data dan informasi statistik tersebut bahkan bisa jauh lebih besar dari biaya yang diperlukan untuk kegiatan-kegiatan pengumpulan data tersebut. Selain
itu, perlu adanya koordinasi dan kerja sama antara pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder), baik lokal maupun nasional atau internasional, agar penyaluran dana dan bantuan yang diberikan ke masyarakat miskin tepat sasaran dan tidak tumpang tindih.
Ketersediaan informasi tidak selalu akan membantu dalam pengambilan keputusan apabila pengambil keputusan tersebut kurang memahami makna atau arti dari informasi itu. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya kemampuan teknis dari pemimpin daerah dalam hal penggunaan informasi untuk manajemen.
Sebagai wujud dari pemanfaatan informasi untuk proses pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan pembangunan di daerah, diusulkan agar dilakukan pemberdayaan pemerintah daerah, instansi terkait, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam pemanfaatan informasi untuk kebijakan program. Kegiatan ini dimaksudkan agar para pengambil keputusan, baik pemerintah daerah, dinas-dinas pemerintahan terkait, perguruan tinggi, dan para LSM, dapat menggali informasi yang tepat serta
menggunakannya secara tepat untuk membuat kebijakan dan melaksanakan program pembangunan yang sesuai. Pemerintah daerah perlu membangun sistem pengelolaan informasi yang menghasilkan segala bentuk informasi untuk keperluan pembuatan
kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan yang sesuai. Perlu pembentukan tim teknis yang dapat menyarankan dan melihat pengembangan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah. Pembentukan tim teknis ini diharapkan mencakup pemerintah daerah dan instansi terkait, pihak perguruan tinggi, dan peneliti lokal maupun
nasional, agar secara kontinu dapat dikembangkan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah.
Berkaitan dengan hal tersebut, perlu disadari bahwa walaupun kebutuhan sistem pengumpulan data yang didesain, diadministrasikan, dianalisis, dan didanai pusat masih penting dan perlu dipertahankan, sudah saatnya dikembangkan pula mekanisme pengumpulan data untuk kebutuhan komunitas dan kabupaten.
Mekanisme pengumpulan data ini harus berbiaya rendah, berkelanjutan, dapat dipercaya, dan mampu secara cepat merefleksikan keberagaman pola pertumbuhan ekonomi dan pergerakan sosial budaya di antara komunitas pedesaan dan kota, serta kompromi ekologi yang meningkat.

(Hamonangan Ritonga Kepala Subdit pada Direktorat Analisis Statistik, Badan Pusat Statistik)

Tanggapan

Program-program yang dilaksanakan pemerintah tidak membangun masyarakat miskin, malah memanjakan mereka dengan bantuan-bantuan yang membuat masyarakat tidak berusaha untuk mengubah nasib mereka. Dengan adanya subsidi tiap bulan oleh pemerintah serta adanya
program beras miskin, masyarakat akan ketergantungan akan bantuan pemerintah. Nantinya saat bantuan tersebut dihentikan, masyarakat akan menuntut pemerintah untuk memberikan bantuan yang lebih besar lagi karena sudah ketergantungan bantuan dari pemerintah.

Langkah yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah adalah mensudsidi sekolah agar anak-anak yang kurang mampu untuk bersekolah dapat bersekolah dengan biaya rendah.
Pada kenyataannya biaya sekolah yang telah di subsidi namun buku-buku pelajaran yang di butuhkan di kenakan tarif yang tinggi. Sehingga tetap saja masyarakat yang kekurangan tidak dapat mengikuti jenjang sekolah dasar.

Permasalahannya adalah kurangnya kesadaran dari masyarakat yang peduli akan pendidikan sehingga menghasilkan penerus bangsa yang miskin akan pengetahuan serta kurangnya program pemerintah guna memberdayakan masyarakat lewat pendidikan. Program yang kini dilaksanakan oleh pemerintah hanya akan membuat masyarakat bergantung pada subsidi yang diberikan sehingga tidak ada motivasi untuk berusaha keluar dari kemiskinan.

Kita sebagai manusia yang memiliki wawasan luas dan mengerti apa yang sedang terjadi di negara ini sewajarnya mengubah daya fikir kita lebih maju lagi. Menghargai pendidikan sebagai salah satu modal paling utama dalam mengurangi tingkat kemiskinan merupakan langkah utama sehingga pendidikan menjadi prioritas utama dalam kehidupan.
Secara umum negara-negara miskin berakar dari rendahnya tingkat pendidikan serta tingginya tingkat pertumbuhan penduduk. Kini langkah program KB serta sosialisasi penggunaan kondom yang sedang di kampanyekan besar-besaran merupakan langkah tepat dalam menurunkan tingkat pertumbuhan penduduk. Namun langkah guna menurunkan tingkat kebodohan di negara ini kurang nyata, sehingga tetap saja negara ini masih miskin.

Untuk itu kita sebagai mahasiswa yang sadar akan pentingnya pendidikan hendaknya fokus terhadap proses belajar. Agar generasi selanjutnya dapat mencontoh dari kesuksesan yang kita capai dengan berfokus pada pendidikan.



"Kita merupakan generasi pelopor pemutus kemiskinan di Indonesia."

Feed your mind...

Sekilas Kegiatan Pendataan Rumah Tangga Miskin

Tugas Artikel : Ekonomi Pembangunan
Nama : Ajat. S
NPM : 05-031

Pendataan RTM Tinggal Kenangan
Pada hari Jumat tanggal 16 Maret 2007 pukul 08:30 selesai senam pagi yang dilaksanakan rutin satu minggu sekali oleh Bupati Karawang Drs. Dadang.S. Moechtar bersama para pegawainya. Dan dengan serta merta Bupati Karawang yang didampingi para dosen baik dari UNSIKA maupun STMIK KHARISMA langsung melepas 300 orang mahasiswa/i untuk mendata Rumah Tangga Miskin masyarakat kabupaten Karawang yang tersebar dalam 30 kecamatan. Dan kebetulan mahasiswa/i Fakultas Ekonomi UNSIKA mendapat tugas 9 kecamatan dari 30 kecamatan yang ada di kabupaten Karawang mulai dari Kecamatan Rawamerta sampai Ujung Utara kota Karawang tepatnya Kecamatan Pakis Jaya.

Pada dasarnya Bupati melibatkan Lembaga Pendidikan Perguruan Tinggi di dalam pendataan RTM tahun 2007 ini, untuk memvalidasi data tentang angka kemiskinan yang ada di Kabupaten Karawang yang sebelumnya mengacu pada data statistik bantuan langsung tunai tahun 2006 yang menimbulkan keributan serta pengrusakan oleh masyarakat desa terhadap fasilitas kantor kepala desa. Memang ironis kota yang kerap sekali disebut sebagai Kota Lumbung Padi Jawa Barat ini, masih ditemukan masyarakatnya yang mengalami kemiskinan bahkan ada yang mengalami derita gizi buruk, sebut saja Bunga (nama samaran) yang baru berusia 9 tahun ini berat tubuhnya sekitar 10 kg yang bertempat tinggal di desa Mekar Jaya kecamatan Rawamerta dan dia hanya
mendapat bantuan dari pemerintah kecamatan sebesar Rp.300.000/bulan dari dana yang dianggarkan sebesar Rp.1.200.000/bulan dari pemerintah daerah.Dan tidak menutup kemungkinan hal ini menimpa pada kecamatan-kecamatan yang ada di Kabupaten karawang.Dan hal ini sesuai dengan pepatah "anak ayam mati di lumbung padi". Sungguh
mengherankan namun itu suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri oleh semua pihak khususnya pemerintah daerah harus senantiasa peduli terhadap warganya yang mengalami penderitaan.

Dengan melibatkan mahasiswa/i dalam pendataan RTM pada tahun 2007 ini, diharapkan bisa bekerja secara profesional dengan tidak memihak sektor pemerintah maupun masyarakat yang ingin di cap sebagai Rumah Tangga Miskin Tahun 2007, akan tetapi penyemprotan ini benar-benar tertuju pada masyarakat yang berhak dengan mengacu pada standar yang telah ditentukan sebelumnya.

Pendataan RTM telah selesai namun hasil dari tindak lanjut pendataan Rumah Tangga Miskin 2007 oleh pemerintah daerah belum nyata hasilnya dan masih mengundang tanda tanya besar "apakah hasil dari pendataan RTM ini sesuai dengan keinginan masyarakat? atau hanya sekedar menina bobokan masyarakat dengan janji-janji belaka!".

Monday, April 30, 2007

Photobucket Album

Sunday, April 29, 2007

Negara Maju dan Negara Berkembang

Yosua Mario Hadi


Negara maju adalah sebutan untuk negara yang menikmati standar hidup yang relatif tinggi melalui teknologi tinggi dan ekonomi yang merata. Kebanyakan negara dengan GDP per kapita tinggi dianggap negara berkembang. Namun beberapa negara telah mencapai GDP tinggi melalui eksploitasi sumber daya alam (seperti Nauru melalui pengambilan phosphorus) tanpa mengembangkan industri yang beragam dan ekonomi berdasarkan-jasa tidak dianggap memiliki status 'maju'.
Pengamat dan teoritis melihat alasan yang berbeda mengapa beberapa negara (dan lainnya tidak) menikmati perkembangan ekonomi yang tinggi. Banyak alasan menyatakan perkembangan ekonomi membutuhkan kombinasi perwakilan pemerintah (atau demokrasi), sebuah model ekonomi pasar bebas, dan sedikitnya atau ketiadaan korupsi. Beberapa memandang negara kaya menjadi kaya karena eksploitasi dari negara miskin di masa lalu, melalui imperialisme dan kolonialisme, atau di masa sekarang, melalui proses globalisasi.

Negara berkembang adalah sebuah negara dengan rata-rata pendapatan yang rendah, infrastruktur yang relatif terbelakang, dan indeks perkembangan manusia yang kurang dibandingkan dengan norma global. Istilah ini mulai menyingkirkan Dunia Ketiga, sebuah istilah yang digunakan pada masa Perang Dingin. Perkembangan mencakup perkembangan sebuah infrastruktur modern (baik secara fisik maupun institusional) dan sebuah pergerakan dari sektor bernilai tambah rendah seperti agrikultur dan pengambilan sumber daya alam. Negara maju biasanya memiliki sistem ekonomi berdasarkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan menahan-sendiri.
Penerapan istilah 'negara berkembang' ke seluruh negara yang kurang berkembang dianggap tidak tepat bila kasus negara tersebut adalah sebuah negara miskin, yaitu negara yang tidak mengalami pertumbuhan situasi ekonominya, dan juga telah mengalami periode penurunan ekonomi yang berkelanjutan.

Pembangunan Ekonomi

Yosua Mario Hadi

Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara.
Pembangunan ekonomi tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi (economic growth); pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi. Yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional[1]. Suatu negara dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi apabila terjadi peningkatan GNP riil di negara tersebut. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi.
Perbedaan antara keduanya adalah pertumbuhan ekonomi keberhasilannya lebih bersifat kuantitatif, yaitu adanya kenaikan dalam standar pendapatan dan tingkat output produksi yang dihasilkan, sedangkan pembangunan ekonomi lebih bersifat kualitatif, bukan hanya pertambahan produksi, tetapi juga terdapat perubahan-perubahan dalam struktur produksi dan alokasi input pada berbagai sektor perekonomian seperti dalam lembaga, pengetahuan, dan teknik.

Faktor
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, namun pada hakikatnya faktor-faktor tersebut dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu faktor ekonomi dan faktor nonekonomi. Faktor ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi diantaranya adalah sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya modal, dan keahlian atau kewirausahaan. Sumber daya alam, yang meliputi tanah dan kekayaan alam seperti kesuburan tanah, keadaan iklim/cuaca, hasil hutan, tambang, dan hasil laut, sangat mempengaruhi pertumbuhan industri suatu negara, terutama dalam hal penyediaan bahan baku produksi. Sementara itu, keahlian dan kewirausahaan dibutuhkan untuk mengolah bahan mentah dari alam, menjadi sesuatu yang memiliki nilai lebih tinggi (disebut juga sebagai proses produksi). Sumber daya manusia juga menentukan keberhasilan pembangunan nasional melalui jumlah dan kualitas penduduk. Jumlah penduduk yang besar merupakan pasar potensial untuk memasarkan hasil-hasil produksi, sementara kualitas penduduk menentukan seberapa besar produktivitas yang ada.
Sementara itu, sumber daya modal dibutuhkan manusia untuk mengolah bahan mentah tersebut. Pembentukan modal dan investasi ditujukan untuk menggali dan mengolah kekayaan. Sumber daya modal berupa barang- barang modal sangat penting bagi perkembangan dan kelancaran pembangunan ekonomi karena barang-barang modal juga dapat meningkatkan produktivitas. Faktor nonekonomi mencakup kondisi sosial kultur yang ada di masyarakat, keadaan politik, dan sistem yang berkembang dan berlaku.

Potensi dan Kontribusi UKM terhadap Perekonomian

Usaha kecil dan menengah (UKM) memegang peranan penting dalam ekonomi Indonesia, baik ditinjau dari segi jumlah usaha (establishment) maupun dari segi penciptaan lapangan kerja. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh BPS dan Kantor Menteri Negara untuk Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menegkop & UKM), usaha-usaha kecil termasuk usaha-usaha rumah tangga atau mikro (yaitu usaha dengan jumlah total penjualan (turn over) setahun yang kurang dari Rp. 1 milyar), pada tahun 2000 meliputi 99,9 persen dari total usaha-usaha yang bergerak di Indonesia. Sedangkan usaha-usaha menengah (yaitu usaha-usaha dengan total penjualan tahunan yang berkisar antara Rp. 1 Milyar dan Rp. 50 Milyar) meliputi hanya 0,14 persen dari jumlah total usaha. Dengan demikian, potensi UKM sebagai keseluruhan meliputi 99,9 per sen dari jumlah total usaha yang bergerak di Indonesia. Besarnya peran UKM ini mengindikasikan bahwa UKM merupakan sektor usaha dominan dalam menyerap tenaga kerja. Berdasarkan survei yang dilakukan BPS (2000), pad a tahun 1999 usaha-usaha kecil (termasuk usaha rumah tangga) mempekerjakan 88,7 persen dari seluruh angkatan kerja Indonesia., sedangkan usaha menengah mempekerjakan sebanyak 10,7 persen. Ini berarti bahwa UKM mempekerjakan sebanyak 99,4 persen dari seluruh angkatan kerja Indonesia. Disamping ini nilai tambah bruto total yang dihasilkan usaha-usaha kecil secara keseluruhan meliputi 41,9 per sen dari Produk Domestik Bruto (POB) Indonesia pada tahun 1999, sedangkan usaha-usaha menengah secara keseluruhan menghasilkan 17,5 persen dari POB (Iihat juga Thee Kian Wie, 2001). Dengan demikian, nilai tambah bruto total yang dihasilkan UKM secara keseluruhan hampir sebesar 60 persen dari POB.

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG NASIONAL MASIH ABSURB

TUGAS MATA KULIAH EKONOMI PEMBANGUNAN
NAMA : YANTI DWI INDARTI
NPM : 05411-015
SEMESTER : 4 (EMPAT)





RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG NASIONAL MASIH ABSURB

Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas,
Paskah Suzeta, menyatakan Indonesia tahun 2025 akan mencapai titik
kemandirian di segala bidang. Baik di sektor ekonomi maupun sektor
yang lainnya. Keyakinan ini muncul ketika pemerintah bersama
DPR "berhasil" merumuskan Visi Indonesia dalam Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang diisahkan 2007.
Ketika kita dalami RPJPN ini tak ubahnya seperti Rencana Pembangunan
Lima Tahun (Repelita) milik orde baru. Dimana secara konsepnya
pembangunan dilaksanakan secara periodik. Dalam pelita VI, Indonesia
hampir saja melakukan tinggal landas. Namun karena terjadi perubahan
konstalasi politik, akhirnya kandas di ujung landasan. Dalam
Repelita yang menjadi titik utama pembangunan adalah di sektor
agraris. Tiap-tiap tahapan, jika diperhatikan pastilah ada unsur
swasembada pangan.
Dengan RPJPN ini pembangunan Indonesia diharapkan akan lebih
terarah. Target, harapan maupun tujuan semoga akan lebih jelas.
Mengingat perkembangan globalisasi mengharapkan Indonesia semakin
pro-aktif dalam melakukan berbagai perubahan secara konstruksi.
Namun jika kita amati Visi Indonesia 2025 ini, ada beberapa
permasalahan di dalamnya. Pertama, tidak adanya main focus yang
digarap secara lebih mendalam. Jika Malaysia dengan Visi 2020-nya
mentargetkan sebagai Negara telekomunikasi termaju, maka dalam RPJPN
belum termaktub arahan yang ingin dicapai.
RPJPN mencantumkan, Indonesia ke depan harus menjadi mandiri. Namun
tidak disebutkan dalam bidang apa. Seharusnya ada sebuah identitas
bangsa yang menjadi fokus garapan utama yang menjadi titik penekanan
konsentrasi kerja. Sebagai contohnya, sebagian besar wilayah
Indonesia berupa lautan. Apalagi laut Indonesia dikaruniai dengan
barbagai macam kekayaan luar biasa. Jika dalam RPJPN disebutkan
jelas, bahwa Indonesia 2025 adalah negara maritim dan konsisten
menggarapnya, maka kemakmuran pun bisa datang dengan sendirinya.
Dari realita yang ada fokus konsentrasi dalam RPJPN harus ada. Ini
untuk menentukan konsentrasi kerja pembangunan. Berkaca pada
repelitanya orde baru, ada sebuah sector utama yang dikhususkan.
Yaitu sektor pertanian pangan. Dalam tahapan reliata, minimal salah
satu butirnya mengatur tentang pertanian. Alhasil pada tahun 1984
Indonesia pernah menjadi negara dengan swasembada beras.
Permasalahan berikutnya adalah masalah politik. Tiap lima tahun
sekali, Indonesia melaksanakan pemilu. Apalagi berdasarkan ketentuan
yang baru, tidak ada kesempatan rezimisasi lagi. Batasan seseorang
menduduki kursi presiden hanya dua kali periode. Sejak 2005 Presiden
SBY telah menduduki kursi tersebut, hingga tahun 2009 nanti dan jika
terpilih kembali hingga 2014. secara otomatis jika penguasa
berganti, maka programpun akan berbeda pula. Meskipun dalam RPJPN
ini sudah diperkuat dengan Undang-undang, namun tetap akan mengalami
perubahan yang krusial. Jika tidak ada kesepakatan politis mengenai
hal ini, maka arah pembangunan tiap lima tahun pun akan berganti.
Bila ini terjadi, maka kontinuitas program pembangunan tidak akan
terjamin. Sebagai solusinya adalah harus ada kesepakatan politis
antar seluruh elemem bangsa mengenai hal ini, RPJPN harus diletakkan
sebagai landasan utama dalam melaksanakan pembangunan nasional,
bukan hanya sebagai tekad. Kesepakatan ini diharapkan menjadi sebuah
piagam bersama.
Permasalahan ketiga adalah utang Indonesia. Dengan diterbitkannya
Surat Utang Negara (SUN) ataupun Surat Berharga Negara (SBN)
lainnya, maka secara otomatis pula Indonesia mempunyai utang dalam
durasi waktu tertentu. Ditambah lagi masa tenor berbagai instrument
keuangan tersebut beragam. Jadi konsep kemandirian yang ditawarkan
oleh RPJPN masih terlalu absurb. Jika kebijakan penerbitan ORI
maupun instrumen lainnya masih dianggap sebagai solusi pembiayaan,
maka dalam beberapa waktu ke depan Indonesia masih akan terikat
utang. Apalagi ke depan, Departemen Keuangan masih akan gencar
menerbitkan instrumen tersebut. Semakin maraknya transaksi instrumen
keuangan di Indonesia, mengindifikasikan sektor riil akan semakin
terpuruk. Dengan BI Rate sembilan persen, maka SBI dan instrumen
keuangan sejenisnya masih sangat menarik sebagai medium investasi.
Jika pemerintah ingin mandiri, maka BI Rate secara bertahap harus
diturunkan. Diharapkan dengan penurunan ini akan memicu pengalihan
dana ke sektor riil. Selama ini dana investasi yang tidur di Bank
Indonesia (BI) ini sudah triliunan rupiah. Namun jika BI Rate
diturunkan secara drastis, yang perlu diwaspadai adalah adanya
capital flight. Dimana dana tersebut akan dilarikan untuk investasi
ke luar negeri karena dianggap lebih menjanjikan. Oleh karenanya,
penurunan ini harus bersifat bertahap dengan memperhatikan berbagai
aspek.

Sumber/ Bahan : Surat kabar Pelita terbit tanggal 25 april 2007

TARIK ULUR RESHUFFLE STABILITAS EKONOMI NASIONAL TERGANGGU

Perombakan (reshuffle) kabinet dan tarik ulur waktu pelaksanaannya
berdampak negatif terhadap denyut nadi perekonomian nasional.
Stabilitas dan ketidakpastian ekonomi pun sangat terganggu, karena
pasar menunggu kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait
perombakan kabinet. Demikian diungkapkan pengamat ekonomi dari Indef
Imam Sugema. Menurut Imam, tarik ulur waktu reshuffle kabinet oleh
presiden SBY menimbulkan ketidakpastian di bidang ekonomi. Pasalnya,
para pelaku usaha tentu akan berdebar-debar menantikan posisi para
menteri di bidang ekonomi tersebut.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan Presiden SBY untuk memilih
para menterinya di bidang ekonomi. Biasanya hal ini akan terkait
dengan reaksi pasar nantinya. Jika yang dipilih adalah sosok yang
kredibel, tentu akan diterima oleh pasar. Dan akan berdampak positif
bagi pertumbuhan ekonomi. Namun bila tidak, maka dampak negatif yang
akan timbul.
Ada dua hal yang harus dicermati Presiden SBY saat akan menentukan
pilihan. Pertama, menteri yang ada harus paham dengan kondisi
ekonomi, bukan hanya pada tataran berpikir saja, tetapi dalam
tataran bertindak. Kedua, yang dibutuhkan adalah menteri yang dapat
memberikan kepastian tentang pengurangan pengangguran, penciptaan
lapangan kerja, pertumbuhan laju investasi, hingga masalah moneter
dalam bidang pertumbuhan ekonomi. Jika para menteri yang dipilih
tidak sesuai, tentu akan membuat stabilitas ekonomi terganggu.
Akibatnya pelaku usaha menjadi tidak nyaman berusaha yang berbuntut
pula pada rendahnya pendapatan nasional
Rencana Reshuffle kabinet mau tak mau memberikan dampak negatif.
Kini, berbagai kebijakan pemerintah ke sektor industri banyak tidak
sinkron. Berbagai instansi menerbitkan kebijakan sendiri-sendiri,
padahal itu sangat kontra produktif, ungkap Sekjen Gabungan
Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Toto Dirgantoro. Industri baja
misalnya, Menteri KLH mengeluarkan kebijakan sendiri, sedangkan
Menteri Perindustrian juga menerbitkan kebijakan yang membuat
prokontra. Akibat semua itu, ekspor baja asal Indonesia menjadi
terhambat. Paling tidak, order ekspor yang sudah ada pun tak bisa
dikirimkan sesuai jadwal yang ditentukan.
Kalau mau Reshuffle kabinet, Presiden SBY hendaknya bersikap tegas.
Kalau iya segera umumkan, atau sebaliknya juga harus disampaikan ke
publik. Dengan begitu, kinerja para menteri bisa lebih enak dan
fokus. Implikasinya, kebijakan yang seharusnya bisa keluar, tak
harus ditunda-tunda, karena ini juga akan mengganggu pelaku usaha.
Jika Presiden SBY masih menggantung seperti sekarang ini, para
pelaku usaha juga menahan diri. Masalahnya kalau mau investasi,
jangan-jangan ada perubahan kebijakan. Proyek yang sudah dimulai
terpaksa jalannya lambat karena ada keraguan yang tinggi di kalangan
pelaku usaha. Makin lama menggantung reshuffle, dampaknya kian buruk
termasuk ke sektor riil. Sementara itu, pengamat keuangan Dandossi
Matram menilai, isu reshuffle kabinet terakhir ini hampir tak
berdampak negatif ke sektor moneter. Buktinya, indikasi makro
ekonomi masih bagus, inflasi turun, suku bunga SBI rendah (masih
berpotensi turun lagi dan indeks harga saham gabungan/ ISHG justru
menguat). Kurs rupiah juga stabil, sehingga tak begitu berpengaruh
pada investasidi sektor riil. Menurutnya, pemerintahan SBY dari sisi
moneter cukup memberikan perubahan yang bagus, walaupun belum
optimal.

Sumber / Bahan : Surat Kabar Batak Pos terbit tanggal 24 dan 25
April 2007