Sunday, February 25, 2007

IGOS, "Software" Gratis Buatan Anak Negeri

DI Bandung, kalau perlu perangkat lunak (software) murah memang tidak perlu susah-susah. Di beberapa titik, seperti di Jln. Ganesha dan beberapa pertokoan komputer, dengan merogoh kocek Rp 10.000,00 hingga Rp 25.000,00 program apa pun yang diperlukan hampir pasti tersedia. Sesekali mobil aparat lewat, berhenti sebentar dan meluncur lagi.

Mungkin itulah mengapa, Indonesia masuk dalam "tiga besar" dari 20 negara dengan tingkat pembajakan tertinggi yang dilansir lembaga riset IDC dan BSA (Aliansi Industri Perangkat Lunak). Atau ini pula yang membuat munculnya laporan tahun 2005, bahwa 87 persen perangkat lunak yang ada di Indonesia adalah produk bajakan.

Di tengah ruwetnya penanganan pembajakan software (sampai masalah sosial dan hukum), percayalah, satu-satunya cara menghilangkan pembajakan adalah dengan menggunakan software legal. "Nah, konsekuensi dari menggunakan software legal, tinggal beli lah software legal. Dan jika beli software legal, satu pilihannya tidak banyak, dan kebetulan pilihan yang ada tidak banyak ini tidak murah," kata Dr. Richard Mengko, Staf Ahli Menristek Bidang Information and Communication Technology (ICT).

Di negara seperti Indonesia, menurut Richard, pemerintah harus berpikir memberikan alternatif. "Kalau soal kekurangan energi, harus dicarikan teknologi alternatif. Nah, itu melahirkan ide mendorong terbentuknya IGOS. Semangatnya, kita perlu memiliki jalan yang cerdas, bukan jalan pintas." IGOS yang disebut, memiliki nama lengkap Indonesia Go Open Source (IGOS) Nusantara 2006. Open source software (OSS) boleh dibilang merupakan salah satu jawaban atas isu global tentang ICT, berlakunya undang-undang hak atas kekayaan intelektual, dan kesenjangan teknologi informasi di masyarakat.

OSS sendiri bisa didefinisikan sebagai perangkat lunak yang dikembangkan secara bersama, bebas alias gratis. OSS yang paling populer misalnya Linux. IGOS Nusantara 2006 adalah perangkat lunak desktop turunan Linux Fedora Core 5. Kemampuannya, menurut Kepala Bidang Analisis Pengembangan Piranti Lunak Kementerian Ristek, Kemal Prihatman, sudah cukup teruji. Apalagi sekadar mengoperasikan aplikasi perkantoran open office, pengelolaan teks, database, spreadsheet, dan presentasi. Masih bisa juga untuk aplikasi GIMP untuk pengelolaan file grafis, aplikasi Firefox untuk internet browsing, aplikasi Thunderbird untuk e-mail, serta aplikasi GAIM untuk chatting.

"Untuk pengembangan, kami juga memiliki labolatorium test bed IGOS," kata Kemal. Laboratorium test bed IGOS merupakan sarana untuk pengujian perangkat lunak berbasis open source yang dilengkapi dengan peralatan untuk pengujian/uji coba komponen dari aplikasi open source.

IGOS sebenarnya dirintis melalui penandatanganan deklarasi bersama lima kementerian, yaitu Kementerian Perhubungan, Komunikasi dan Informasi, Pendayagunaan Aparatur Negara, Kehakiman dan HAM, dan Pendidikan Nasional, 30 Juni 2004. Deklarasi tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa OSS ini menjadi strategi nasional dalam mempercepat penguasaan teknologi informasi di Indonesia.

Menristek beri contoh

Tingkat kesempurnaan perangkat lunak yang dikembangkan LIPI dan Menristek ini, menurut Richard, sudah mendekati perangkat lunak biasa. "Kalau hanya sebuah operating system, spreadsheet, presentasi, browsing, itu sudah dicoba, sudah dibuktikan tidak ada bedanya, hanya
letak-letak icon saja. Sama dengan Bapak hari ini memakai Toyota, besok Mercedes terus bingung, lho rem tangannya di mana, remnya pindah. Tapi kan pasti semua mobil punya rem tangan. Bedanya itu," paparnya.

Diakui Richard, kendala terbesar adalah bagaimana IGOS bisa digunakan secara masif. "Kita sulit menjual obat rambut hitam kalau kita sendiri beruban. Bukan kendala lah, tapi perlu upaya lebih besar agar sistem ini dipakai. Feedback kan dari pengguna, kalau kita yang bikin pasti sudah hebat. Dan ini akan dikembangkan terus dengan arah yang benar, sehingga menjadi produk yang benar-benar qualified," katanya.

Di Kementerian Ristek, IGOS sudah dipakai dalam operasional sehari-hari. Asisten Deputi Promosi dan Komersialisasi Iptek, Dra. Dewi Odjar Ratna Komala, M.M. mengaku tak terlalu sulit "bermigrasi" . "Untuk ukuran saya yang sudah tua dan sulit kalau harus belajar yang baru, ternyata bisa juga," kata Dewi di sela-sela peluncuran IGOS Nusantara 2006, IGOS-Source dan Lab IGOS Test Bed di Jakarta, Senin (4/12).

Penghematan biaya

Semangat "be legal" dan mendapatkan perangkat yang murah ini tampak dilakukan serius. Berapa penghematan yang bisa dilakukan, sambil tidak ketinggalan teknologi akan sangat besar. Biaya belanja software komersial tidak sekadar pembelian untuk program dasar. "Kita harus
keluar uang lagi untuk beli program-program tambahan. Belum lagi kalau keluar program baru, semuanya harus diganti," kata Kemal.

Dari informasi yang didapat, Unpad misalnya menghabiskan biaya Rp 300 juta per tahun untuk membayar software. Tentu saja banyak institusi swasta atau pemerintah yang bisa menghemat biaya. "Kalau menggunakan IGOS ini, biaya yang keluar paling untuk pelatihan saja, tidak perlu
sebesar itu," kata Dewi.

Selain aspek legal dan penghematan, sirkulasi keuangan negara dan peningkatan SDM menjadi fokus dari penggunaan IGOS. "Pertama be legal, kedua jangan digital divide, banyak di pulau-pulau lain yang keadaannya berbeda. Kalau kita biarkan, kapan mereka mau pinter, dan
jangan lupa industri lokal. Regulasi dengan penguasaan teknologi, dengan lahirnya industri itu sesuatu yang nyambung. Untuk apa kita bikin benda baru yang terpaksa kita impor 100 persen. Lebih baik kita tunggu saja 10 tahun. Nah, cerita itu, be legal, digital divide dan bagaimana menumbuhkan industri lokal itu. Industri lokal itu, antara lain yang bikin program itu kan orang indonesia. Semua lokal kan.

Buktinya mereka sekarang pinter bikin IGOS. Dan saya yakin, cukup kita dukung akan muncul versi yang lebih sempurna. Jangan lupa, DOS juga dulu DOS 1 dulu. Begitu sampai DOS 6 baru ngerti, dulu DOS 1 itu bodoh sekali," papar Richard.

Dalam instalasi, tersedia beberapa pilihan yaitu pertama, office dan productivity, tipe instalasi berisi paket-paket software umum untuk keperluan perkantoran dan administrasi. Kedua, software development, pada tipe instalasi ini paket-paket yang berguna untuk kegiatan pemrograman software. Ketiga, web server, tipe ini merupakan tipe khusus digunakan untuk keperluan server pada jaringan. Untuk melengkapi dan penyempurnaan terus-menerus, Kemal menyebut pihaknya menyediakan fasilitas support group, akses melalui situs resmi http://www.igos- nusantara. or.id. Untuk media layanan penyimpan koleksi perangkat lunak untuk pengembang dan media penyebaran kepada pemakai dibangun repositori IGOS (IGOS-Source) . Repositori ini bisa diakses di http://www.igos- source.or. id atau lewat e-mail di helpdesk@igos- source.or. id. "Apabila ingin software-nya, (bisa) dapat di Kantor Ristek (Jln. M.H. Thamrin Jakarta)," tulis pesan singkat dari Ristek.

Biar lebih banyak digunakan, perlu juga dititipkan di penjual program bajakan, di Jln. Ganesha atau pertokoan komputer. Legal, murah, dan mungkin peringkat Indonesia segera menurun atau hilang. Siapa tahu.

Komet dan Asteroid Bisa Hancurkan Bumi

DI tengah situasi dunia yang terpecah-pecah oleh blok kepentingan ekonomi, politik, dan ideologi, muncul pertanyaan, apakah ada sesuatu yang bisa menyatukan dunia? Sungguh indah bila umat manusia bersatu, saling melindungi, dan mencintai satu dengan yang lain. Ketika nilai universal seperti keadilan, cinta kasih, hak asasi, dan sebagainya mengalami banyak tantangan dan halangan untuk bisa menyatukan umat manusia, keberadaan "musuh bersama"--mungkin- -menjadi cara yang cukup ampuh.

Bumi--tidak seperti digambarkan dalam film-film dan cerita science fiction (scifi)--memang tidak diserang alien. Namun, bahaya komet dan asteroid (K+A) yang bisa menghancurkan kehidupan di Bumi bukan cerita isapan jempol belaka. Contoh populer--namun masih diperdebatkan- -adalah hantaman komet 65 juta tahun lalu yang menciptakan kawah Chicxulub di Yucatan Peninsula, sebelah tenggara Meksiko, telah menghilangkan kehidupan bangsa dinosaurus. Contoh terdekat dalam sejarah modern adalah hantaman komet di Tunguska dataran Siberia pada 30 Juli 1908 yang menimbulkan getaran sejauh 300 km dan kerusakan seluas 2.000 km persegi.

Timbulkan kehancuran total

Di permukaan Bumi sekarang telah ditemukan lebih dari 160 kawah akibat hantaman K+A. Contoh terkenal adalah kawah Barringer (sesuai dengan nama geolog yang mempelajarinya pertama kali), dekat Flagstaff, Arizona, Amerika Serikat. Kawah dengan lebar 1.250 meter, panjang 3.200 meter, dan kedalaman 174 meter, terbentuk antara 30.000 - 50.000 tahun lampau. Kawah raksasa berukuran 70 km juga terbentuk di Manicovagan di Kanada, terjadi pada 210 juta tahun lampau.
Untuk menggambarkan seberapa besar kehancuran bila K+A berdiameter 2,1 km, wilayah yang hancur total mencapai radius 320 km dan hancur sebagian mencapai 960 km, bila K+A berdiameter 8,5 km menghancurkan total 2.200 km dan sebagian 6.600 km, diameter 34 km meluluhlantakkan area dengan radius 1.100 km dan kehancuran global, sedangkan jika diameternya di atas 73 km akan menghancurkan seluruh kehidupan di Bumi.

Tayangan nyata kekuatan tabrakan K+A adalah saat belasan pecahan komet P/Shoemaker- Levy 9 menabrak planet Yupiter pada 16-22 Juli 1994. Terlihat bagaimana pecahan berdiameter beberapa km mampu menciptakan gumpalan atmosfer panas lebih luas dari ukuran Bumi. Sungguh sebuah tayangan yang memiriskan hati. Setelah itu, untuk pertama kalinya ilmuwan AS dan Rusia bertemu di AS dan bahu-membahu guna mencari cara menangkal serangan K+A.

Muncul ide untuk menggunakan rudal nuklir guna menyongsong kehadiran komet sebelum memasuki atmosfer Bumi. Atau menanam bom jauh hari sebelumnya untuk menghancurkan. Juga menggunakan laser. Bahkan menanam roket guna mengubah arah orbit K+A. Hanya, persoalannya adalah kapan tepatnya bahaya itu datang. Seminggu lagi. Sebulan lagi. Setahun lagi. Tidak ada yang bisa memastikan. Upaya yang bisa dilakukan adalah memonitor dan menemukan K+A yang menyimpan bahaya baik melalui teleskop antariksa maupun landas Bumi yang dilakukan astronom profesional maupun amatir.

Selain menimbulkan kehancuran di Bumi, pengaruh penting dari tabrakan K+A adalah menstimulasi pembentukan senyawa organik yang nantinya mendukung terbentuknya kehidupan ketika kedua benda tersebut bergesekan dengan atmosfer Bumi purba. Selain itu, komet telah menjadi sumber air di Bumi. Pandangan yang diyakini sebagian ilmuwan ini, terutama beranjak dari penelitian pascatabrakan proyektil Deep Impact ke komet Tempel 1 pada 4 Juli 2005 yang menyemburkan 250 ribu ton air, memang masih diperdebatkan.

Kajian Charles Cockell, profesor geomikrobiologi dari the Open University UK, terhadap beberapa kawah yang terbentuk akibat tabrakan asteroid seperti kawah Haughton di dataran Artik Kanada dan kawah Chesapeake Bay berdiameter 80 km di AS membuktikan, selain menghancurkan batuan, tabrakan asteroid ternyata menciptakan habitat baru untuk mikroorganisme. Retakan atau celah pada bekas tabrakan menjadi tempat tinggal mikroba.

Terlepas dari pengaruh positif tabrakan tersebut, dalam era di mana kehidupan telah terbentuk dan berbudaya saat ini, justru pengaruh negatiflah yang mengemuka. Kehancuran total menghadang di depan mata, seperti digambarkan dalam film fiksi ilmiah "Deep Impact" dan "Armageddon" . Melalui kedua film ini pula negara AS memperoleh citra positif (dan menempatkan dirinya) sebagai pahlawan dunia ketika banyak negara lain belum menyadari betul bahaya K+A.

Turut membentuk Bumi

Seberapa banyak K+A yang telah menabrak Bumi? Dengan asumsi setiap harinya puluhan ton materi angkasa menghantam Bumi atau lebih dari 20.000 ton per tahun, menunjukkan bahwa materi angkasa tersebut cukup besar. Besaran materi yang "memperkaya" Bumi ini terjadi ketika tata surya dalam kondisi "tenang" yaitu setelah 4,6 miliar tahun pembentukannya. Apalagi pada awal kejadian tata surya ketika proses tabrakan antarprotoplanet dan pertambahan materi protoplanet dengan menarik benda-benda lebih kecil terjadi amat meriah.

Untuk itu, perlu dicatat kajian ilmuwan Jepang dan Universitas Arizona AS seperti termuat dalam majalah Science edisi 16 September 2005 membuktikan adanya era yang disebut Masa Akhir Hujan Tabrakan Asteroid--MAHTA (Late Heavy Bombardment) pada 3,9 miliar tahun lalu ke Bumi. MAHTA dipicu adanya pembersihan sisa materi berukuran kecil pembentuk tata surya dengan ditarik oleh planet gas raksasa terutama Yupiter. Massa Yupiter bertambah, akibatnya kecepatan orbitnya berkurang. Kejadian ini berakibat Yupiter bergerak menuju Matahari (orbitnya memendek). Lebih lanjut, kumpulan asteroid yang berada di Sabuk Asteroid Utama (berada di antara orbit Mars dengan Yupiter) terganggu dan bergerak menuju planet terestrial.

Analisis MAHTA dibuktikan dari keberadaan kawah di dataran tinggi Mars dan Bulan. Analisis batuan Bulan yang dibawa dalam misi Apollo membuktikan bahwa 80 persen kawah Bulan terbentuk akibat tabrakan asteroid. Akibat tabrakan asteroid di Bulan, pecahan materi Bulan menimpa Bumi. MAHTA berakibat terbentuknya lebih dari dari 20.000 kawah di Bulan berdiameter antara 10 km - 1.000 km. MAHTA telah mengubah permukaan Bumi dan Bulan. Analisis batuan tua dan mineral memperlihatkan bahwa batuan itu terbentuk akibat tabrakan.Tidak ada material di permukaan keduanya yang berumur lebih dari 3,9 miliar tahun.

Pasca-MAHTA, banyak asteroid terutama berukuran kecil menjadi asteroid berpotensi bahaya karena bentuk orbitnya berubah lebih memanjang (elongated) dan memotong orbit planet terestrial akibat Efek Yarkovsky sebagai akibat dari perbedaan radiasi matahari yang diserap dan dipancarkan asteroid berukuran kurang dari 20 km dan resonansi orbit Yupiter. Akibatnya, dalam kurun puluhan juta tahun, orbit asteroid berubah.

Penelitian berbeda dilakukan ilmuwan dari California Institute of Technology (Caltech), Southwest Research Institute (SwRI) dan lainnya seperti dimuat dalam majalah Nature edisi 19 Januari 2006 mengenai banyaknya debu-debu antarplanet yang menyelimuti Bumi yang berasal dari tabrakan asteroid. Keberadaan material berisotop Helium 3 menggambarkan Bumi mendapatkan tambahan materi dalam jumlah besar dalam orde waktu jutaan tahun.

Penelitian lapisan debu di dasar Samudra Indonesia dan Atlantik oleh Profesor Ken Farley dari Caltech memberitakan lapisan debu antarplanet yang menimpa Bumi berusia 75 juta tahun dan 8,2 juta tahun. Menurut simulasi komputer, debu yang berusia 8,2 tahun berasal dari pecahnya asteroid berukuran 160 km bernama Veritas.

Asteroid berbahaya

Saat ini ada 800 asteroid yang dekat dengan Bumi (Near-Earth Asteroids) dengan diameter lebih dari 1 km dan 200 di antaranya diklasifikasikan sebagai objek yang berbahaya (potentially hazardous asteroids) karena berjarak kurang dari 5 juta km dari Bumi (13 kali jarak Bumi-Bulan). Selain itu, ada sekira 2.000 asteroid besar dan lebih dari 135 ribu batuan berukuran sekira 100 meter. Orbit asteroid yang melintas dekat planet terestrial bisa berubah akibat gravitasi planet terestrial. Keadaan inilah yang perlu diamati terus-menerus.

Ada beberapa contoh asteroid berbahaya. Asteroid NT7 berdiamater hampir 2 km melintas dekat Bumi pada 1 Februari 2019. Asteroid 2004 MN4 atau Near-Earth Object (NEO) 99942 Apophis pada 13 April 2029 melintas Bumi dengan jarak hanya 5 kali radius Bumi. Pada 2036, asteroid ini dikhawatirkan akan menabrak Bumi. Asteroid berkode 1950 DA akan mendekati Bumi pada 16 Maret 2880 dan berdiameter 1 km. Pada 21 Maret 2014, asteroid 2003 QQ47 berdiameter 1,2 km bermassa 2,6 miliar ton dan berkecepatan 30 km/detik berada di posisi terdekat dengan Bumi dan masih banyak lainnya.

Misi mendatang

Berbagai negara maju, baik sendiri maupun bersama, mengadakan program mengantisipasi bahasa asteroid. Rusia mengadakan program patroli antariksa dengan mengembangkan satelit guna memandu rudal balistik ataupun pilot dalam upaya mencegat asteroid. Dua buah satelit itu
yaitu Sancho dan Hidalgo akan diluncurkan antara 2010 - 2015. Badan Antariksa Eropa (ESA) mengembangkan satelit Don Quijote berdasarkan rekomendasi dari AS dan Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Satelit yang dibuat Alcatel Alenia Space, EADS Astrium, dan QinetiQ (UK) ini akan diluncurkan pada 2011. Selain dipergunakan untuk mengantisipasi bahaya asteroid, Don Quijote dipergunakan untuk mempelajari asteroid sebagai rangkaian dari program Cosmic Vision 2015-2025.

Matinya Bahasa Sunda

khazanah-utama. gif (34786 bytes)
Ketika esai ini ditulis, di tangan saya ada 25 eksemplar Majalah
Sunda Cupumanik (edisi 18/2005-edisi 43/2007). Majalah ini, sejak
edisi 16/2005, menyediakan sebuah rubrik "Kandaga Basa" yang isinya
berupa babasan jeung paribasa. Ruang yang disediakan untuk rubrik ini
dua halaman, setiap edisi diisi rata-rata 15-20 paribasa dan selalu
diberi nomor dalam kurung setelah judul rubriknya. Karena yang ada
pada saya mulai edisi 18, rubrik "Kandaga Basa"-nya bernomor edisi
(3).Oleh Acep Iwan Saidi

Membaca dan menyimak rubrik ini segera akan terkesan pada kita bahwa
betapa cergas dan kreatifnya orang Sunda masa lalu dalam berbahasa.
Cergas sebab mereka tangkas dan terampil menangkap pengalaman hidup
dan memformulasikannya lewat bahasa. Kreatif sebab bahasa yang
diformulasikannya bukan bahasa biasa, melainkan penuh dengan metafora,
efektif, dan selalu mempertimbangkan hukum bunyi sehingga rangkaian
ungkapannya tidak hanya bernas secara substansial, tetapi juga estetik
dalam segi bentuk.

Perhatikan babasan dan paribasa berikut, "kajeun kendor dapon
ngagembol, cara anjing tutung buntut, ngindung ka waktu ngabapa ka
mangsa, ambek nyedek tanaga midek, nulak cangkeng dina kelek, inggis
batan maut hinis rempan batan mesat gobang, dan ti ngongkoak nepi ka
ngungkueuk." Lupakanlah makna ungkapan-ungkapan itu, perhatikan
diksinya yang ketat, dan dengarkan bunyinya yang merdu. Tanpa tahu
maknanya, segera akan muncul kesan betapa bahasa ungkap itu tertata
dengan rapi. Musikalisasi bunyinya juga terdengar harmonis.

Pada tataran filosofis, ungkapan-ungkapan itu jelas menunjukkan sebuah
formulasi atas pengalaman prareflektif. Di situ bahasa tidak sekadar
sarana pendeskripsi realitas, tetapi juga abstraksi dari pengalaman,
bahasa yang telah memergoki pengalaman dan dengan tangkas
menangkapnya. Mari periksa peribahasa berikut, "Piit ngendeuk-ngendeuk
pasir, cecendet mande kiara." Ini jelas sebuah abstraksi atas perilaku
manusia yang tidak pernah mengukur kemampuan dan kualitas dirinya. Ia
menginginkan sesuatu yang tidak mungkin dapat diraihnya. Tampak terang
kepada kita, di situ bahasa telah memiliki rohnya sendiri. Ia masuk ke
ruang transenden, wilayah yang kita anggap tak terbahasakan sebab kita
selalu menganggap bahasa sebatas sarana untuk mendeskripsikan realitas
belaka. Silakan juga periksa beberapa babasan dan paribasa lain
seperti, "Milih-milih rabi, mindah-mindah basa, cul dogdog tinggal
igel, caina herang laukna beunang, dan adat ka kurung ku iga."

Formulasi bahasa semacam itu tidak mungkin lahir tanpa sebuah studi
yang intens -- apa dan bagaimanapun metodologinya. Kita tahu bahwa
jejak penciptanya sulit ditelusuri. Ungkapan-ungkapan itu adalah
produk masyarakat lisan. Ia diciptakan oleh penutur-penutur yang tidak
perlu coretan nama diri di atas karangannya. Ia anonim. Namun, siapa
pun penciptanya, ia pastilah seorang ahli bahasa yang menggauli bahasa
sampai ke ruang-ruang paling gelap. Ia tidak menjadikan bahasa sebagai
objek, ia tidak mengambil jarak dengan bahasa. Dirinya sendiri kiranya
telah menjelma bahasa itu sendiri.

Tapi mengapa kini

bahasa Sunda itu mati?

Persoalannya kemudian, apakah para penutur bahasa Sunda sekarang bisa
melakukan hal yang sama? Apakah para sarjana sastra Sunda yang sering
merasa sok modern mampu memformulasikan pengalaman dalam bahasa yang
demikian? Ketimbang mendapat jawaban menggembirakan, sebuah berita
menyedihkan justru diturunkan harian ini beberapa waktu lalu. "Penutur
bahasa Sunda di Kota Bandung Hanya Tersisa 30%", demikian tajuk berita
tersebut ("PR", 15/2/2007). Penutur yang 30% itu, katanya, terbatas
pada kalangan pelajar yang sedang mengikuti kegiatan belajar-mengajar
bahasa Sunda di sekolah. Diperkirakan tahun 2010 tidak ada lagi urang
Bandung yang menggunakan bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari.
Menyakitkan. Jika bahasanya hilang, bisa dipastikan budayanya pun lesap.

Kenapa nasib buruk demikian mesti menimpa bahasa Sunda? Gugun Gunadi,
sarjana Sastra Sunda dan Staf Pengajar Fakultas Sastra Unpad,
menyerang dengan jurus agak culas. Ia bilang bahwa tragedi itu terjadi
akibat kesalahan ibu-ibu muda dan Dinas Pendidikan. Ibu-ibu muda tidak
mau mengajari anaknya berbahasa Sunda. Dinas Pendidikan tidak mau
memberlakukan bahasa Sunda sebagai bahasa pengajaran di taman
kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD).

Wow, jika saya berada pada posisi dua pihak tersebut, saya akan segera
bertanya, apa pula yang Anda lakukan sebagai sarjana sastra Sunda? Apa
ikhtiar Unpad (c.q. Jurusan sastra Sunda!) dalam mengatasi masalah
tersebut? Bukankah sejauh ini Anda dan kawan-kawan hanya bersembunyi
di sebuah ruang eksklusif bernama kampus? Mana karya Anda yang
menunjukkan jerih payah untuk memasyarakatkan bahasa Sunda yang bisa
dicerna publik: Buku? Hasil penelitian? Karya ilmiah? Bukankah Anda
orang akademis yang mestinya bisa bekerja secara metodologis? Anda,
saya kira, tidak diajari untuk hanya bisa menyalahkan orang lain. Anda
pasti diajari untuk bertanggung jawab pada keilmuan Anda.

Tak sekadar soal bahasa

Persoalan bahasa tidak bisa diselesaikan dengan cara sederhana lewat
pelajaran yang diberikan seorang ibu kepada anaknya atau lewat
kurikulum yang diwajibkan pemerintah sebagaimana disinyalir Gugun.
Tidak ada jaminan bahasa Sunda akan lestari jika dua hal itu
dilakukan. Ketika melihat gejala ibu-ibu muda tidak mau mengajarkan
bahasa Sunda kepada anaknya dan Dinas Pendidikan tak mau memberlakukan
kurikulum, Gugun mestinya bertanya mengapa hal itu terjadi, bukan
lantas menunjuk hidung mereka. Jika pertanyaan tersebut tak segera
mendapat jawab, sebagai akademisi, hal yang mesti dilakukan tentulah
melakukan riset yang serius, penelitian dedikatif yang tidak hanya
demi kepentingan projek. Menuduh adalah cermin berpikir pragmatis,
yang, tentu saja, tidak sehat dimiliki seorang akademisi.

Saya sendiri berasumsi bahwa bahasa Sunda kian menghampiri kematiannya
karena ada banyak faktor yang membuat orang Sunda berjarak dengannya.
Bahasa, kata Bronislav Malinowsky, lahir karena pengalaman badaniah"
(Halliday, 1985: 10). Pengalaman badaniah adalah interaksi keseharian
yang melibatkan banyak hal di samping manusia sendiri sebagai pelibat
utamanya. Dalam interaksi ada ruang, waktu, dan benda-benda yang
bergerak di dalamnya. Sekelompok orang yang berinteraksi di sebuah
ruang dan waktu yang penuh dengan benda teknologi, misalnya,
memungkinkan lahirnya ungkapan-ungkapan dan istilah-istilah yang
berkaitan dengan teknologi tersebut. Dari situ akan lahir bahasa ragam
teknologi. Tidak mungkin lahir bahasa ragam sastra, politik, dan
lain-lain di luar ranah teknologi.

Beranalogi pada contoh ekstrem tersebut, tentu tidak mungkin lahir
dan/atau lestari bahasa Sunda jika ruang dan waktu tempat orang Sunda
berinteraksi dipenuhi benda dan pemikiran yang menjauhkan mereka dari
alam kesundaan itu sendiri. Akan sia-sia seorang ibu mengajarkan
bahasa Sunda jika yang ada di dalam rumahnya bukan benda-benda yang
mengingatkan mereka pada kesundaan, jika pola pikir mereka tidak
nyunda. Omong kosong rasanya jika kita berkoar-koar kepada seluruh
warga Sunda agar menggunakan bahasa Sunda dalam keseharian. Kita hanya
melihat bahasa sebatas alat yang dengan itu berharap bisa
mendeskripsikan dan merepresentasikan realitas. Padahal, sebagaimana
Malinowsky, bahasa adalah pengalaman keseharian itu sendiri. Bahasa
adalah inti dari aktivitas. Bahasa diproduksi oleh aktivitas dan
penanda-penanda yang melingkunginya. Maka, bagaimana bisa bahasa Sunda
mendeskripsikan dan merepresentasikan aktivitas orang lain, dalam
penanda orang lain pula.

Demikian juga soal kurikulum pendidikan bahasa Sunda. Mubazir kiranya
kurikulum bahasa Sunda diberlakukan jika kelas dipenuhi benda dan
model atau metodologi pengajaran asing. Bisa saja seorang murid
mencapai nilai bagus dalam pelajaran, tetapi ia segera akan
melupakannya setelah pelajaran itu lewat. Hal ini dimungkinkan terjadi
sebab sang murid belajar bahasa Sunda sebatas kewajiban, selebihnya
mengejar kelulusan. Kurikulum bahasa Sunda, dengan begitu, paling
banter hanya akan bisa memenuhi syarat formal, tidak substansial.
Sekolah akhirnya hanya mengajarkan kepura-puraan.

Lantas, bagaimana cara mencegah atau paling tidak memperlambat usia
bahasa Sunda jika dalam realitas keseharian kita justru berjauhan
dengan benda-benda dan pandangan hidup kesundaan sedemikian? Tentu
jawabannya tidak cukup berteriak-teriak bahwa bahasa Sunda akan mati,
apalagi dengan menyalahkan pihak-pihak tertentu. Jawabannya, hemat
saya, adalah berkarya. Tingkatkan terus karya-karya yang berkaitan
dengan kesundaan, baik secara kuantitas maupun kualitas. Contohlah
strategi McDonald. Makanan ini eksis antara lain karena ia hadir
nyaris di setiap sudut kota di seluruh dunia. Ingat juga bagaimana
pada suatu masa yang telah lewat tari jaipongan menjadi demikian
populer. Tarian ini eksis antara lain karena frekuensi kemunculannya
yang luar biasa, baik dalam bentuk pentas maupun rekaman musiknya.
Mari kita kepung orang Sunda dengan karya, bukan dengan umpatan. Para
sarjana Sunda, Unpad, Unpas, dan pihak-pihak yang mendompleng pada
kesundaan, berkaryalah! Meneliti, menulis, terbitkan minimal 1.000
buku, 1.000 jurnal, dan sekian ribu tulisan di media dalam setahun!
Jangan beralasan hal ini tidak mungkin dilakukan. Kita hanya baru bisa
hidup kalau mau bekerja keras, bukan? Jangan juga berkilah tidak ada
dana! Unpad, misalnya, wow, kaya banget!

Kembali ke soal peribahasa di atas, orang Sunda terutama para sarjana
sastra Sunda mestinya malu pada para karuhun. Mereka hidup dalam
tradisi lisan yang kental. Mereka sering kita anggap sebagai
terbelakang. Tapi, nyatanya mereka justru jauh lebih cerdas dari kita.
Mereka mampu mengabstraksikan perilakunya dalam formulasi bahasa yang
estetik dan bergizi. Lihatlah, sampai edisi terakhir Cupumanik yang
saya baca hingga tulisan ini dibuat, tak ada satu pun peribahasa yang
diciptakan oleh orang Sunda modern. Seluruhnya telah saya kenali sejak
sebelum mengenal bangku sekolah dasar. Ah, saya jadi curiga pada model
studi bahasa Sunda di perguruan tinggi. Jangan-jangan mereka telah
menempatkan bahasa sebagai objek yang mati belaka. Jangan-jangan
mereka hanya mengintip bahasa dalam jarak karena alasan objektivitas
ilmiah. Jangan-jangan mereka pun mengilmiahkan bahasa Sunda dengan
hukum-hukum yang diadopsi dari pola-pola bahasa asing sebagaimana
dilakukan banyak pakar bahasa Indonesia terhadap bahasa nasional itu.
Jika demikian halnya, pantaslah kalau kini bahasa Sunda melangkah kian
cepat saja ke liang lahatnya!***

Penulis, Dosen pada Kelompok Keahlian Ilmu-ilmu Desain dan Budaya
Visual FSRD ITB. Pernah kuliah Sastra dan Bahasa (S-1). Sedang
menyusun buku Tata Bahasa Baku-Hantam Bahasa Indonesia.

__._,_.___

DIMANAKAH AKU BERDIRI

Kita semua tampaknya telah lupa, bahwa kita menginjakkan kaki dibumi yang sama, banyak orang yang selalu saja berdebat dan saling berebut sesuatu yang bukan menjadi hak atasnya, coba saja ketika banyak pejabat yang dirinya melakukan tindakan keji dengan memperkaya diri sendiri dari hasil keringat orang yang tertindas. Mereka berdebat saling menuduh, dan tidak sedikit pula yang ikut mempergunjingkan kelakuannya hanya karena rasa simpati dan kedengkian yang ada dihatinya. Padahal mereka itu pula sama sama tahu bahwa perbuatan itu teramat hina, tetapi siapa dari mereka yang mau mengangkat jari untuk mengakuinya ?.

Di bumi ini kita hidup dan menjalankan rutinitas kehidupan, di Bumi ini pula kita berbuat sesuatu yang sebenarnya lebih banyak merusak daripada memelihara, tetapi kebanyakan dari kita lupa dan lebih banyak berdebat hingga urat leherpun ikut kaku karena teriakan, semua berprinsip dialah yang lebih baik dari mereka semua yang ditujunya. tapi tidakkah kita menyadari bahwa kita semua adalah sama ?, sama-sama memberikan kontribusi yang besar terhadap pengrusakan ini.

Coba saja kita renungkan, betapa hentakkan kaki kita tatkala menjejakkan langkah dibumi ini demikian menghujam hingga meninggalkan bekas yang menyakitkan, belum lagi hantaman mesin dari kemajuan jaman yang juga ikut menancapkan cakar tajamnya hingga menembus kulit yang paling sensitif di tubuh bumi ini. Semua dilakukan hanya karena satu hal, nafsu manusia untuk menciptakan yang terbaik dari bumi ini. Betapa kita semua adalah makhluk ciptaan yang paling menghancurkan dari seluruh mahluk yang diciptakan Tuhan, tidak ada lagi yang ditakuti manusia, tidak terhadap gunung yang memiliki kekuatan panas yang mematikan, tidak pula terhadap laut yang mampu meluluhlantakkan daratan dari gulungan ombaknya, tidak terhadap angin yang mampu menerbangkan setiap benda yang dilaluinya, bahkan mungkin terhadap Azab Tuhan yang lebih menyakitkan dari semua kekuatan yang ada di seantara bumi ini.

Kita masih bisa memandang demikian indahnya langit di atas sana, kita dapat tersenyum dan merasa bangga sebagai bagian dari penghuni bumi yang indah ini, dan kitapun masih bisa tertawa ketika melihat mereka yang demikian tersiksa dibelahan bumi yang panas dan dingin yang tak menentu.

Dimanakah aku berdiri, di antara mereka yang merasa bangga atas kreasinya, atau diantara mereka yang berdiri diam meratapi kesengsaraannya. Aku tak dapat sendiri menjawab persoalan ini, karena aku tahu, aku adalah bagian dari mereka yang juga menghancurkan bumi ini, aku adalah bagian dari mereka yang justeru manapakkan kaki lebih dalam dari mereka, dan aku yang telah menancapkan kuku-kuku panjang yang menghujam hingga bagian menyakitkan. dan aku meratapi sesuatu yang mestinya kubanggakan. tidak ada yang pasti dimana aku berdiri, tidak pula mereka yang bersorak atas kekuatan pijakkan di bumi ini.

Semua karena aku adalah manusia, dan aku berdiri sebagai mahluk yang memiliki nafsu.