Friday, May 4, 2007

Membangun Tenaga Produktif Nasional

nama : dika kharisma
npm : 05-057
smt : IV (empat) MB
fe unsika manajemen



Membangun Tenaga Produktif Nasional

Pada tahun 2005, United Nation Industrial Development Organisation(UNIDO) menempatkan Indonesia dalam peringkat industrialisasi terbawah diantara negara-negara ASEAN. Menurut mereka, lemahnya sektor ini disebabkan oleh daya saing yang lemah dan minimnya upaya (dana) untuk riset dan pengembangan. Prinsip yang harus dipegang
adalah arah dari kebijakan ekonomi yang harus ditempuh adalah yang sanggup memberi jalan keluar terhadap keterbelakangan tenaga produktif nasional; bersifat massal untuk mengatasi ledakan pengangguran akibat kebijakanglobalisasi; mampu memberi jalan keluar penyelamatan industri dalam negeri yang saat ini sekarat dan mengalami kebangkrutan masaal; serta yang pengelolaan, tujuan, dan hasil-hasilnya dibadikan untuk kepentingan mayoritas rakyat.
Singkatnya arah dari perspektif ekonomi masa depan adalah meletakan dasar-dasar dan syarat-sarat ekonomi dan sosial bagi program industrialisasi nasional yang berhasil agar tercipta landasan ekonomi nasional yang modern dan kokoh dan sanggup membuka lapangan kerja secara massal. Sementara program pendidikan (dari TK hingga perguruan tinggi) dan kesehatan gratis (dari biaya rawat inap, konsultasi medis, dan obat-obatannya) dibutuhkan untuk mencetak sumber daya kapital, sumber daya manusia yang terus meningkat kemampuan dan kualitasnya.
Industrialisasi tidak hanya dimaksudkan agar kontribusi sektor industri dalam pendapatan nasional makin meningkat, tetapi harus dilaksanakan dengan tujuan-tujuan yang lebih luas cakupannya,khususnya agar tingkat kesejahteraan masyarakatnya makin membaik dan makin merata. Oleh karena itu, persoalan-persoalan sosial dalam
kehidupan masyarakat yang nampak lambat perkembangan penanggulangannya pelu dijadikan pertimbangan penting di dalam memilih strategi pelaksanaan industrialisasi. BPS menyebutkan bahwa pada bulan Februari 2006 tingkat pengangguran terbuka mencapai 10,4%dari jumlah angkatan kerja atau sekitar 11 juta orang. Mungkin kita akan sedikit berlega hati, dari sepuluh orang Indonesia, sembilan orang memiliki pekerjaan. Tentu tidaklah semudah itu penalarannya.
Nyatanya BPS juga memiliki data bahwa dari seratusan juta angkatan kerja kita, 60,6 juta orang bekerja pada sektor informal . Besarnya sektor informal merupakan konsekuensi logis lemahnya perindustrian di tanah air. Mungkin gambarannya sekarang akan menjadi: dari sepuluh orang Indonesia (angkatan kerja), satu orang menganggur,
enam orang bekerja tanpa kepastian, sisanya bekerja normal. Pun perlu digaris bawahi, orang yang `bekerja normal' sebagian besar saat ini sangat rentan kondisinya di bawah penerapan UU No.13/2003 ataupun revisinya (jika yang terakhir ini akhirnya disahkan).
Lemahnya tenaga produktif dapat digambarkan dari banyaknya pengangguran dan pekerja sektor informal di suatu negara. Padahal menurut hukum ekonomi, produksi adalah basis kehidupan dan perkembangan masyarakat. Dan faktor yang paling menentukan dalam
semua aktivitas produksi adalah manusia itu sendiri, tenaga kerjanya. Lemahnya akses masyarakat kepada pemenuhan syarat-syarat produktivitas mereka akbat kemiskinan, akan menciptakan kemiskinan-kemiskinan yang baru pula. Fenomena itu bagai sebuah lingkaran
setan. Satu-satunya jalan untuk memutus rantai lingkaran itu adalah:
negara harus melakukan intervensi untuk membuka seluas-luasnya akses mayarakat dalam pemenuhan syarat-syarat tenaga produktif mereka.Akses rakyat terhadap makanan, pakaian, perumahan, pendidikan,kesehatan, dan rekreasi haruslah dibuka seluas-luasnya. Kesemuanya haruslah mendapat perlindungan (subsidi) dari pemerintah. Pada tahapan awal haruslah ada yang digratiskan seperti pendidikan dan kesehatan sebagai pemacu awal.
"sektor pekerjaan yang tidak menghasilkan pendapatan yang tetap dan tiadanya keamanan kerja (job security) atau tidak ada status permanen atas pekerjaan".

No comments: