khazanah-utama. gif (34786 bytes)
Ketika esai ini ditulis, di tangan saya ada 25 eksemplar Majalah
Sunda Cupumanik (edisi 18/2005-edisi 43/2007). Majalah ini, sejak
edisi 16/2005, menyediakan sebuah rubrik "Kandaga Basa" yang isinya
berupa babasan jeung paribasa. Ruang yang disediakan untuk rubrik ini
dua halaman, setiap edisi diisi rata-rata 15-20 paribasa dan selalu
diberi nomor dalam kurung setelah judul rubriknya. Karena yang ada
pada saya mulai edisi 18, rubrik "Kandaga Basa"-nya bernomor edisi
(3).Oleh Acep Iwan Saidi
Membaca dan menyimak rubrik ini segera akan terkesan pada kita bahwa
betapa cergas dan kreatifnya orang Sunda masa lalu dalam berbahasa.
Cergas sebab mereka tangkas dan terampil menangkap pengalaman hidup
dan memformulasikannya lewat bahasa. Kreatif sebab bahasa yang
diformulasikannya bukan bahasa biasa, melainkan penuh dengan metafora,
efektif, dan selalu mempertimbangkan hukum bunyi sehingga rangkaian
ungkapannya tidak hanya bernas secara substansial, tetapi juga estetik
dalam segi bentuk.
Perhatikan babasan dan paribasa berikut, "kajeun kendor dapon
ngagembol, cara anjing tutung buntut, ngindung ka waktu ngabapa ka
mangsa, ambek nyedek tanaga midek, nulak cangkeng dina kelek, inggis
batan maut hinis rempan batan mesat gobang, dan ti ngongkoak nepi ka
ngungkueuk." Lupakanlah makna ungkapan-ungkapan itu, perhatikan
diksinya yang ketat, dan dengarkan bunyinya yang merdu. Tanpa tahu
maknanya, segera akan muncul kesan betapa bahasa ungkap itu tertata
dengan rapi. Musikalisasi bunyinya juga terdengar harmonis.
Pada tataran filosofis, ungkapan-ungkapan itu jelas menunjukkan sebuah
formulasi atas pengalaman prareflektif. Di situ bahasa tidak sekadar
sarana pendeskripsi realitas, tetapi juga abstraksi dari pengalaman,
bahasa yang telah memergoki pengalaman dan dengan tangkas
menangkapnya. Mari periksa peribahasa berikut, "Piit ngendeuk-ngendeuk
pasir, cecendet mande kiara." Ini jelas sebuah abstraksi atas perilaku
manusia yang tidak pernah mengukur kemampuan dan kualitas dirinya. Ia
menginginkan sesuatu yang tidak mungkin dapat diraihnya. Tampak terang
kepada kita, di situ bahasa telah memiliki rohnya sendiri. Ia masuk ke
ruang transenden, wilayah yang kita anggap tak terbahasakan sebab kita
selalu menganggap bahasa sebatas sarana untuk mendeskripsikan realitas
belaka. Silakan juga periksa beberapa babasan dan paribasa lain
seperti, "Milih-milih rabi, mindah-mindah basa, cul dogdog tinggal
igel, caina herang laukna beunang, dan adat ka kurung ku iga."
Formulasi bahasa semacam itu tidak mungkin lahir tanpa sebuah studi
yang intens -- apa dan bagaimanapun metodologinya. Kita tahu bahwa
jejak penciptanya sulit ditelusuri. Ungkapan-ungkapan itu adalah
produk masyarakat lisan. Ia diciptakan oleh penutur-penutur yang tidak
perlu coretan nama diri di atas karangannya. Ia anonim. Namun, siapa
pun penciptanya, ia pastilah seorang ahli bahasa yang menggauli bahasa
sampai ke ruang-ruang paling gelap. Ia tidak menjadikan bahasa sebagai
objek, ia tidak mengambil jarak dengan bahasa. Dirinya sendiri kiranya
telah menjelma bahasa itu sendiri.
Tapi mengapa kini
bahasa Sunda itu mati?
Persoalannya kemudian, apakah para penutur bahasa Sunda sekarang bisa
melakukan hal yang sama? Apakah para sarjana sastra Sunda yang sering
merasa sok modern mampu memformulasikan pengalaman dalam bahasa yang
demikian? Ketimbang mendapat jawaban menggembirakan, sebuah berita
menyedihkan justru diturunkan harian ini beberapa waktu lalu. "Penutur
bahasa Sunda di Kota Bandung Hanya Tersisa 30%", demikian tajuk berita
tersebut ("PR", 15/2/2007). Penutur yang 30% itu, katanya, terbatas
pada kalangan pelajar yang sedang mengikuti kegiatan belajar-mengajar
bahasa Sunda di sekolah. Diperkirakan tahun 2010 tidak ada lagi urang
Bandung yang menggunakan bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari.
Menyakitkan. Jika bahasanya hilang, bisa dipastikan budayanya pun lesap.
Kenapa nasib buruk demikian mesti menimpa bahasa Sunda? Gugun Gunadi,
sarjana Sastra Sunda dan Staf Pengajar Fakultas Sastra Unpad,
menyerang dengan jurus agak culas. Ia bilang bahwa tragedi itu terjadi
akibat kesalahan ibu-ibu muda dan Dinas Pendidikan. Ibu-ibu muda tidak
mau mengajari anaknya berbahasa Sunda. Dinas Pendidikan tidak mau
memberlakukan bahasa Sunda sebagai bahasa pengajaran di taman
kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD).
Wow, jika saya berada pada posisi dua pihak tersebut, saya akan segera
bertanya, apa pula yang Anda lakukan sebagai sarjana sastra Sunda? Apa
ikhtiar Unpad (c.q. Jurusan sastra Sunda!) dalam mengatasi masalah
tersebut? Bukankah sejauh ini Anda dan kawan-kawan hanya bersembunyi
di sebuah ruang eksklusif bernama kampus? Mana karya Anda yang
menunjukkan jerih payah untuk memasyarakatkan bahasa Sunda yang bisa
dicerna publik: Buku? Hasil penelitian? Karya ilmiah? Bukankah Anda
orang akademis yang mestinya bisa bekerja secara metodologis? Anda,
saya kira, tidak diajari untuk hanya bisa menyalahkan orang lain. Anda
pasti diajari untuk bertanggung jawab pada keilmuan Anda.
Tak sekadar soal bahasa
Persoalan bahasa tidak bisa diselesaikan dengan cara sederhana lewat
pelajaran yang diberikan seorang ibu kepada anaknya atau lewat
kurikulum yang diwajibkan pemerintah sebagaimana disinyalir Gugun.
Tidak ada jaminan bahasa Sunda akan lestari jika dua hal itu
dilakukan. Ketika melihat gejala ibu-ibu muda tidak mau mengajarkan
bahasa Sunda kepada anaknya dan Dinas Pendidikan tak mau memberlakukan
kurikulum, Gugun mestinya bertanya mengapa hal itu terjadi, bukan
lantas menunjuk hidung mereka. Jika pertanyaan tersebut tak segera
mendapat jawab, sebagai akademisi, hal yang mesti dilakukan tentulah
melakukan riset yang serius, penelitian dedikatif yang tidak hanya
demi kepentingan projek. Menuduh adalah cermin berpikir pragmatis,
yang, tentu saja, tidak sehat dimiliki seorang akademisi.
Saya sendiri berasumsi bahwa bahasa Sunda kian menghampiri kematiannya
karena ada banyak faktor yang membuat orang Sunda berjarak dengannya.
Bahasa, kata Bronislav Malinowsky, lahir karena pengalaman badaniah"
(Halliday, 1985: 10). Pengalaman badaniah adalah interaksi keseharian
yang melibatkan banyak hal di samping manusia sendiri sebagai pelibat
utamanya. Dalam interaksi ada ruang, waktu, dan benda-benda yang
bergerak di dalamnya. Sekelompok orang yang berinteraksi di sebuah
ruang dan waktu yang penuh dengan benda teknologi, misalnya,
memungkinkan lahirnya ungkapan-ungkapan dan istilah-istilah yang
berkaitan dengan teknologi tersebut. Dari situ akan lahir bahasa ragam
teknologi. Tidak mungkin lahir bahasa ragam sastra, politik, dan
lain-lain di luar ranah teknologi.
Beranalogi pada contoh ekstrem tersebut, tentu tidak mungkin lahir
dan/atau lestari bahasa Sunda jika ruang dan waktu tempat orang Sunda
berinteraksi dipenuhi benda dan pemikiran yang menjauhkan mereka dari
alam kesundaan itu sendiri. Akan sia-sia seorang ibu mengajarkan
bahasa Sunda jika yang ada di dalam rumahnya bukan benda-benda yang
mengingatkan mereka pada kesundaan, jika pola pikir mereka tidak
nyunda. Omong kosong rasanya jika kita berkoar-koar kepada seluruh
warga Sunda agar menggunakan bahasa Sunda dalam keseharian. Kita hanya
melihat bahasa sebatas alat yang dengan itu berharap bisa
mendeskripsikan dan merepresentasikan realitas. Padahal, sebagaimana
Malinowsky, bahasa adalah pengalaman keseharian itu sendiri. Bahasa
adalah inti dari aktivitas. Bahasa diproduksi oleh aktivitas dan
penanda-penanda yang melingkunginya. Maka, bagaimana bisa bahasa Sunda
mendeskripsikan dan merepresentasikan aktivitas orang lain, dalam
penanda orang lain pula.
Demikian juga soal kurikulum pendidikan bahasa Sunda. Mubazir kiranya
kurikulum bahasa Sunda diberlakukan jika kelas dipenuhi benda dan
model atau metodologi pengajaran asing. Bisa saja seorang murid
mencapai nilai bagus dalam pelajaran, tetapi ia segera akan
melupakannya setelah pelajaran itu lewat. Hal ini dimungkinkan terjadi
sebab sang murid belajar bahasa Sunda sebatas kewajiban, selebihnya
mengejar kelulusan. Kurikulum bahasa Sunda, dengan begitu, paling
banter hanya akan bisa memenuhi syarat formal, tidak substansial.
Sekolah akhirnya hanya mengajarkan kepura-puraan.
Lantas, bagaimana cara mencegah atau paling tidak memperlambat usia
bahasa Sunda jika dalam realitas keseharian kita justru berjauhan
dengan benda-benda dan pandangan hidup kesundaan sedemikian? Tentu
jawabannya tidak cukup berteriak-teriak bahwa bahasa Sunda akan mati,
apalagi dengan menyalahkan pihak-pihak tertentu. Jawabannya, hemat
saya, adalah berkarya. Tingkatkan terus karya-karya yang berkaitan
dengan kesundaan, baik secara kuantitas maupun kualitas. Contohlah
strategi McDonald. Makanan ini eksis antara lain karena ia hadir
nyaris di setiap sudut kota di seluruh dunia. Ingat juga bagaimana
pada suatu masa yang telah lewat tari jaipongan menjadi demikian
populer. Tarian ini eksis antara lain karena frekuensi kemunculannya
yang luar biasa, baik dalam bentuk pentas maupun rekaman musiknya.
Mari kita kepung orang Sunda dengan karya, bukan dengan umpatan. Para
sarjana Sunda, Unpad, Unpas, dan pihak-pihak yang mendompleng pada
kesundaan, berkaryalah! Meneliti, menulis, terbitkan minimal 1.000
buku, 1.000 jurnal, dan sekian ribu tulisan di media dalam setahun!
Jangan beralasan hal ini tidak mungkin dilakukan. Kita hanya baru bisa
hidup kalau mau bekerja keras, bukan? Jangan juga berkilah tidak ada
dana! Unpad, misalnya, wow, kaya banget!
Kembali ke soal peribahasa di atas, orang Sunda terutama para sarjana
sastra Sunda mestinya malu pada para karuhun. Mereka hidup dalam
tradisi lisan yang kental. Mereka sering kita anggap sebagai
terbelakang. Tapi, nyatanya mereka justru jauh lebih cerdas dari kita.
Mereka mampu mengabstraksikan perilakunya dalam formulasi bahasa yang
estetik dan bergizi. Lihatlah, sampai edisi terakhir Cupumanik yang
saya baca hingga tulisan ini dibuat, tak ada satu pun peribahasa yang
diciptakan oleh orang Sunda modern. Seluruhnya telah saya kenali sejak
sebelum mengenal bangku sekolah dasar. Ah, saya jadi curiga pada model
studi bahasa Sunda di perguruan tinggi. Jangan-jangan mereka telah
menempatkan bahasa sebagai objek yang mati belaka. Jangan-jangan
mereka hanya mengintip bahasa dalam jarak karena alasan objektivitas
ilmiah. Jangan-jangan mereka pun mengilmiahkan bahasa Sunda dengan
hukum-hukum yang diadopsi dari pola-pola bahasa asing sebagaimana
dilakukan banyak pakar bahasa Indonesia terhadap bahasa nasional itu.
Jika demikian halnya, pantaslah kalau kini bahasa Sunda melangkah kian
cepat saja ke liang lahatnya!***
Penulis, Dosen pada Kelompok Keahlian Ilmu-ilmu Desain dan Budaya
Visual FSRD ITB. Pernah kuliah Sastra dan Bahasa (S-1). Sedang
menyusun buku Tata Bahasa Baku-Hantam Bahasa Indonesia.
__._,_.___
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment